Pulau Sebatik Ikon Kota Perbatasan
oleh harmen Batubara
Sebagai bagian dari
provinsi Kalimantan Utara banyak orang menghayalkan bahwa suatu saat Sebatik
akan jadi Singapura nya Kaltara. Bukan tidak ada alasan, pulau Sebatik berada
di pertigaan wilayah Malaysia-Brunai dan Filipina. Tetapi apapun itu, sebatik
sebenarnya adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang perlu mendapat
perhatian. Dia tidak saja sebagai beranda depan Bangsa, tetapi ia layak dan
perlu dijadikan “role model” bagi pengembangan pulau-pulau terluar. Dahulu
Kemenhan dan Kementerian Kelautan dan Kemenhub mencoba untuk mengangkat Pulau Nipah, Batam sebagai salah satu model
bagi pengembangan pulau terluar dengan titik berat eknomi dan pertahanan.
Pemerintah lewat KemenPU kemudian mereklamasi pulau Nipah dan jadilah ia
seperti yang sekarang.Tapi sebenarnya belum bisa memberikan makna apa-apa,
kecuali sedikit dari sisi pertahanan.
Kali ini saya menulis
tentang pengembangan pulau Sebatik ke depan, dengan jalan melihat pulau itu
sejak abat ke 16, bagaimana posisinya terhadap Tawau. Dengan mengetahui sedikit
banyak tentang realitas tersebut maka para perencana nantinya akan bisa
memberikan ciri khas yang sesuai bagi pengembangan pulau Sebatik jadi Kota
Perbatasan. Dari sisi pertahanan Malaysia jelas sudah menjadikan Tawau sebagai
Armatim atau Armada Timur (pangkalan utama Angkatan Laut nya), sementara
Indonesia tidak punya ide terkait untuk itu, meski memang akan ada rencana
pembangunan satu brigif di Nunukan. Tetapi masih jauh dari sepadan. Kalau
Malaysia punya dua Lanud di Tawau dengan panjang runway 3000 meter, nampaknya
Indonesia baru Punya Sepinggan. Sementara Tarakan, Nunukan, Malinau, Putu Sibau
bandaranya baru kelas sedikit diatas “perintis”.
Belanda Juga Diusir
Inggris Dari Tawau. Dalam catatan penulis, awal mula etnis pertama yang
bermukim di Pulau Sebatik adalah etnis Tidung, Mereka bermukim di Pulau Sebatik
bermula sekitar tahun 1912, saat mereka membuka desa Setabu atas perintah
Sultan Tidung. Cerita itu sudah kita dengar dari mulut ke mulut. Termasuk dari
Kepala desa Stabu sendiri (2011) saat penulis melakukan penelitian lewat
Universitas Pertahanan di wilayah itu. Waktu itu, beliau menambahkan bahwa ia
merupakan keturunan langsung dari orang pertama yang membuka daerah Pulau
Sebatik untuk permukiman. Etnis yang menjadi mayoritas di Pulau Sebatik saat
ini bukanlah etnis Tidung tetapi Bugis. Bugis menjadi etnis mayoritas dengan
jumlah mencapai 70% dari keseluruhan populasi Pulau Sebatik. Etnis Jawa menjadi
etnis kedua terbesar, disusul etnis Tidung, Dayak Agaba, Timor, dan Lombok.
Kemudian saya juga mendapati bahwa Ambo
Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang membawa keluarganya
menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang Bunyu.
Tapi jauh sebelum itu
pada Abad ke 17, kongsi dagang Hindia
Belanda VOC sudah mulai memperluas wilayah koloni mereka ke Borneo Timur atau
Kalimantan Utara. Pada tahun 1635 Garit Thomasen Pool untuk pertama kalinya
diutus Pemerintah Hindia Belanda berkunjung ke Kaltara untuk melakukan kontak
dagang dengan Kerajaan Kutai Kartanegara, tetapi usaha ini tidak berhasil. Pada
Tahun 1671 Belanda mengutus lagi Paoelos De Bock dengan kapal Chiolop de
Noorman melakukan perluasan wilayah koloni ke Kalimantan Utara. Mereka
melakukan kontak dagang dengan kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong.
Pada tahun Tahun 1672
Frans Heys dengan tiga Kapal dagang berkunjung lagi ke Kerajaan Kutai
Kartanegara untuk melakukan kontak dagang. Tetapi karena hasilnya kurang
memuaskan maka mereka meneruskan perjalanan ke pesisir Timur pantai Kalimantan
hingga Kalimantan Utara yang sekarang menjadi Negara bagian Sabah Malaysia
Timur. Di suatu tempat kawasan pantai yang disebut Tanjung Tinagat (kini
Tawau), Belanda membuka perkampungan baru. Disini mereka mendirikan perwakilan
dagang sebagai bagian dari wilayah koloni mereka. Pada sebuah batu yang
menjorok ke laut diukir lambang VOC yang secara jelas bisa dilihat dari laut
sebagai bukti bahwa Tanjung Tinagat (Tawau) adalah wilayah koloni Hindia
Belanda.
Strategisnya Tawau atau
Malaysia, itu terlihat dari upaya Belanda dan Inggeris memperebutkan Tawau.
Pada masa itu. Inggris yang telah menguasai India, Burma, semenanjung Malaya,
dan Singapura, juga tengah memperluas wilayah koloninya ke Borneo Utara.
Sarawak, Berunei dan Sabah berhasil mereka diduduki. Inggris berniat memperluas
wilayah jajahanya hingga Tawau, tetapi tidak berhasil. Kota Tawau lebih dahulu
dikuasai Belanda. Mereka terikat perjanjian bahwa sesama Bangsa Eropa tidak
boleh saling berebut wilayah jajahan yang sudah dikuasai.
Akan tetapi keinginan
Inggris tidak berhenti sampai disitu. Dengan sengaja Inggris membuat kekacauan
di Tawau. Suku Heban dan suku suku lain diadu domba bahwa mengayau atau
memenggal kepala Manusia diperbolehkan dengan alasan adat. Maka terjadilah
perang antar suku di Kota Tawau. Di muara sungai Tawau dirintangi berbagai
pohon yang sengaja ditumbangkan. Kapal-kapal dagang Belanda dan kapal dagang
asing dirampok, awak kapalnya dibunuh. Kantor maskapai VOC Belanda diserang
kemudian dibakar. Batu cadas yang bertuliskan lambang VOC diujung tanjung
dihancurkan oleh agen Inggris untuk menghilangkan bukti tapal batas wilayah
koloninya Belanda.
Meluasnya kekacauan di
Tawau membuat Belanda merasa kewalahan. Akhirnya orang-orang Belanda menyingkir
kesebuah desa yang disebut Kampung Pembeliangan. (kini berada di Kabupaten
Nunukan). Disini Belanda berkirim surat Kepada Raja Bulungan Sultan Kaharuddin,
untuk minta dijemput. Maka sultan mengirim beberapa perahu mengambil
orang-orang Belanda untuk dibawa ke Tanjung Palas, ibukota kerajaan Bulungan.
Sesampai di Tanjung Palas Sultan Kaharuddin mengajukan penawaran Kepada
orang-orang Belanda apakah akan pulang kenegeri Belanda atau tetap ingin
tinggal di Bulungan. Ternyata mereka memilih untuk tetap tinggal di Kerajaan
Bulungan. Oleh Sultan kaharuddin Orang-orang Belanda ini diberi tempat tinggal
berupa tanah seribu depa diseberang Sungai Kayan. Tempat orang-orang Belanda
ini sekarang menjadi Kota Tanjung Selor, ibuKota Kabupaten Bulungan.
Kisah masa lalu
setidaknya telah memberikan kita semacam referensi bagaimana perebutan wilayah
ini dilakukan serta bagaimana Belanda mengincar posisi strategis wilayah Tawau
dalam perdagangan. Dari sudut pandang ini, maka cara yang termudah untuk
mengembangkan kawasan di segitiga Tawau, Malaysia-Brunai-Filipina adalah dengan
jalan melakukan sinergi terhadap berbagai keunggulan yang sudah ada. Posisi
Pulau Sebatik-Nunukan-Tarakan-Sangata-Balikpapan adalah partner yang sangat
ideal bagi perkuatan kota Tawau sebagai pertigaan arus ekonomi yang mengkaitkan
potensi Malaysia-Brunai-Indonesia dan Filipina. Bagaimana Kota perbatasan Pulau
Sebatik mampu memanfaatkan potensi disekitarnya demi kemaslahatan bersama.
Masih ingat sejarahnya bagaimana Pulau Batam jadi Badan
Otorita (sekarang Badan Penggusahaan,BP) pada tahun-tahun awal kelahirannya
1970an? Adanya semangat untuk menghadirkan Kota Industri yang bisa bekerja sama
dengan negara tetangga, kota yang tidak
disibukkan oleh birokrasi pemerintahan, dan dikelola laiknya sebuah perusahaan.
Sekarang ini Kota Batam[1]
adalah kota terbesar di Kepulauan Riau dan merupakan kota
dengan populasi terbesar ke tiga di wilayah Sumatra setelah Medan dan Palembang, Menurut Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batam Per April 2012 jumlah penduduk Batam
mencapai 1.153.860 jiwa.
Metropolitan Batam terdiri dari tiga pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang yang dihubungkan oleh
Jembatan Barelang. Batam merupakan
sebuah kota dengan letak sangat strategis. Selain berada di jalur pelayaran
internasional, kota ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan Singapura dan Malaysia. Batam merupakan salah satu kota dengan
pertumbuhan terpesat di Indonesia. Ketika dibangun pada tahun 1970-an awal kota
ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk dan dalam tempo 40 tahun penduduk Batam
bertumbuh hingga 158 kali lipat. Dan jangan lupa Batam masih tergolong wilayah
perbatasan, yang memang pantas untuk dijadikan halaman depan bangsa. Lalu
bagaimana dengan Pulau Sebatik?
Ikon Kota Perbatasan
Pengembangan Kota Pulau
Sebatik (selanjutnya disebut Kota Sebatik)
ke depan haruslah mengupayakan untuk mengoftimalkan pemanfaatan berbagai
potensi sumber daya yang ada, baik dari sisi letak geografisnya sendiri maupun
potensi sumber daya alam yang telah ada, mencakup pengembangan usaha perikanan
tangkap, rumput laut, pengembangan usaha tani perkebunan dan tanaman pangan
seperti kakao, kopi, kelapa sawit dan padi serta pengembangan usaha-usaha
perdagangan dan jasa yang menjadikannya sebagai pintu masuk ke Indonesia
khususnya wilayah KalimantanTimur dan Kalimantan Utara, khususnya kota-kota
disepanjangn pantai timur Kalimantan mulai dari Balikpapan, Bontang,Tanjung
Selor, Tarakan, Nunukan dan Sebatik; dan juga sepanjang jalan paralel
perbatasan mulai dari Tanjung Datu-hingga ke Nunukan, termasuk di dalamnya
adalah potensi pariwisata (Trade and Service).
Usaha dan upaya diatas
dipandang penting dalam menggerakan perekonomian Pulau Sebatik. Kalau dilihat
dari potensi wilayah-wilayah yang ada di belakang Sebatik, maka jelas daya
tarik pengembangan ekonomi kawasan perbatasan di segi tiga
Malaysia-Brunai-Filipina itu akan sangat terpesona oleh potensi yang dimiliki
Sebatik dan jajarannya. Terlebih lagi kalau Sebatik-Tawau bisa di satukan lewat
jalan khusus (dengan Kapal Ferry-Roro) atau Jembatan sekelas Barelang. Kalau di
perhatikan secara alami saja perkembangan Pulau Sebatik selama ini telah jadi
perhatian utama bagi kawasan disekitarnya- sehingga dapat menjadi perhatian
positip dari kota tetangganya Tawau. Tawau secara pasti telah menjadikan
Sebatik sebagai partner dagang yang baik dan memberikan semangat kerjasamanya.
Kalau sebatik didandani dengan sarana dan prasarana yang tepat maka tidak
mustahil Kota Sebatik akan sangat memukau.
Bisa kebayang nggak?
Kalau misalnya suatu saat nanti dibentuk sebuah Badan Pengelola Kawasan Sebatik ( disingkat BPKS) yakni lembaga instansi
pemerintah Pusat yang dibentuk oleh BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan)
yang mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan
pembangunan kawasan perbatasan sesuai dengan fungsi-fungsi kawasan? Badan semacam ini sangat dibutuhkan dalam
upaya membangun perbatasan jadi beranda depan kedaulatan bangsa. Seperti di
Batam terdapat dua model pengelolaan dalam satu Pulau yakni satu Kota Batam dan
satunya lagi BP Batam.
Badan Pengelola Kawasan Sebatik ini nantinya akan
menyiapkan beberapa proyek unggulan
untuk meningkatkan keunggulan dan kelebihan Pulau Sebatik dari kawasan
sekitarnya. Langkah ini dimaksudkan untuk menjadikan Pulau Sebatik sebagai
tempat investasi yang menarik bagi kalangan perdagangan dan pelabuhan di kawasan segi tiga emas
Malaysia-Brunai-Filipina dan sekitarnya.
Proyek tersebut di
antaranya seperti pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Sebatik-
Nunukan dan pulau Kalimantan,bahkan termasuk dan sampai ke Tawaunya sendiri. Kemudian
diikuti dengan pengembangan pasilitas PPLB Lamijung yang menjadi satu kesatuan
dengan Border Trade Zone, jalan tol Sebatik –Nunukan dan pulau Kalimantan,
Perluasan atau peningkatan kualitas Pelabuhan Nunukan- pembangunan SMK unggulan
pertanian, perikanan Rumput Laut, Karet dan Kakao dan bahkan balai pelatihan
untuk TKI.
Konsepsi pengembangan
wilayah Kabupaten Nunukan secara umum dan pulau Sebatik khususnya di masa depan
harus terintegrasi dan dikembangkan melalui strategi pengembangan wilayah yang spesifik
sesuai dengan kondisi geografi wilayahnya, yang sinkron dengan VISI INDONESIA 2025 DAN KONEKTIVITAS
ASEAN serta Masyarakat Ekonomi Asean 2015
baik pada wilayah laut maupun daratnya. Hal ini dikarenakan pada wilayah
ini disamping merupakan wilayah perbatasan juga sebagai simpul dalam system
jaringan perdagangan antar Negara, yang bisa memanfaatkan potensi perekonomian
kota-kota besar di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara khususnya Balik Papan,
Samarinda, Bontang, Sangata, Tanjung Selor, Tarakan dan Nunukan dengan
kota-kota di wilayah Sabah.
Perekonomian wilayah di
pulau Sebatik sebenarnya telah jadi daya pikat tersendiri di daerah itu. Kalau
saja Sebatik bisa dijadikan tumpuan sarana Transit (Ferry Roro-Kapal Laut Cepat
dan Kapal Pesiar Sewaan), fasilitas pelabuhan, serta jaringan Hotel dan
penginapan maka ia akan jadi tempat transit yang menyenangkan dan apalagi bisa
lebih murah bagi kota-kota disekitarnya. Misalnya dengan Tarakan. Tarakan dapat
dicapai dan dilayani oleh kapal Feri Tawindo MV dan Indomaya MV pulang pergi,
setiap pagi jam 09.00 dari Pelabuhan Tengkayu, Tarakan dan jam 11.00. Harga
tiket feri dari Tarakan adalah Rp 290.000 per orang(data tahun 2013) dan dari
Tawau adalah 140 MYR (ringgit) per orang dan tidak tersedia tiket dengan kategori
eksekutif ataupun ekonomi. Lama perjalanan adalah 4 sampai 5 jam tergantung
cuaca laut.
Sebatik, Tarakan dan
Tawau adalah surga petualangan laut, bila di Tarakan anda bisa melanjutkan
jalan ke Pulau Derawan, maka dari Tawau anda dapat ke Pulau Sipadan dan
Ligitan. Kalau Sebatik misalnya bisa membuat paket Tour dari Sebatik ke Pulau
Derawan dan kota-kota disekitarnya termasuk paket penginapan, transport dan
island shopping bahkan dengan atau tidak termasuk makan serta pengeluaran
pribadi. Kemudian hal yang sama Tour ke Tawau- Semporna-Sipadan-Ligitan.berikut
kota-kota di sekitar nya, maka ia akan jadi sesuatu yang menarik.
Sekarang sudah era
globalisasi, termasuk didalamnya globalisasi ekonomi yang sedang dan masih
terus akan berlangsung membawa dampak terhadap pergerakan orang, barang dan
modal yang tidak lagi dapat dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang. Menurut
Dumairy[2]
globalisasi dimaknai mendunianya kegiatan perekonomian, yang tidak lagi
mengenal batas kenegaraan; globalisasi bukan hanya sekedar berada di tataran
nasional, namun sudah menjadi transnasional kegiatan yang tidak hanya mencakup
aspek perdagangan dan keuangan saja, tapi sudah memasuki ranah aspek produksi,
pemasaran dan sumber daya manusia. Konsekuensinya, perekonomian antar Negara menjadi
saling berkaitan, dimana peristiwa ekonomi suatu Negara dengan dan mudah
berimbas ke Negara lainnya.
Apakah Sebatik serta kawasan perbatasan di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dapat memanfaatkan dampak positif arus
globalisasi ekonomi, terutama peluang perdagangan bebas kawasan sekitarnya.
Artinya, langkah awal pengembangan perdagangan seperti apa yang pas untuk
Sebatik? Apakah perdagangan bebas perlu dikembangkan di kawasan Pulau Sebatik?
Semua itu sangat tergantung pada kemampuan memanfaatkan potensi pasar Negara
Bagian Sabah, Brunai dan Filipina dengan memanfaatkan peraturan yang ada yakni
Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 serta aturan yang ada pada BIMP-EAGA?
Untuk menjawab pertanyaan
ini sebaiknya dalam jangka pendek perdagangan bebas lintas batas negara lewat
lautlah kelihatannya yang “lebih mudah”; yakni melalui pembentukan Border Trade
Zone (BTZ) – Pos Pengamanan Lintas Batas (PPLB), khususnya di kawasan
perbatasan laut (pesisir), mencakup Nunukan dan sekitarnya. Dalam jangka panjang
secara bertahap PKSN atau PPLB yang berada dikawasan perbatasan darat
dikembangkan kegiatan perdagangan bebas lintas batas.
Kawasan perbatasan laut
(pesisir) yang kita sebut di sini mencakup 5 Kecamatan di Pulau Sebatik, 2
Kecamatan di Pulau Nunukan (Nunukan, Nunukan Selatan) dan wilayah pesisir
Kecamatan Sei Manggaris. Untungnya sejak awal telah dipersiapkan infrastruktur
yang diperlukan untuk mendukung pergerakan lalu lintas orang dan barang.
Infrastruktur transportasi berupa bandar udara Nunukan dan pelabuhan laut Tunon
Taka, untuk melayani kapal melakukan bongkar muat barang dalam jumlah besar
sudah tersedia.
Demikian pula PPLB
Lamijung akan segera difungsikan sebagai lalu lintas keluar - masuk orang dari
Nunukan ke Tawao atau sebaliknya. Model pengembangan Kawasan Perbatasan
Laut yang merupakan pilihan tepat untuk
mengembangkan Nunukan dan sekitarnya membutuhkan keberadaan Kawasan Berikat
dan Kawasan Pelabuhan Bebas.
Dalam hal yang sama, Menteri
Dalam Negeri selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) telah
mencanangkan Pulau Sebatik sebagai Kawasan Pengembangan Agroindustri dan Jasa
Maritim, pada 28 Mei 2012 lalu. Sebagai kawasan pengembangan agroindustri lebih
realistis untuk segera direalisasikan dalam jangka pendek, dibandingkan dengan
pembentukan kawasan berikat. Karena kawasan berikat membutuhkan penyediaan
sarana dan prasarana yang lebih
kompleks.
Namun demikian, pilihan
model pengembangan diatas sudah mengisyaratkan peluang untuk dilakukannya
kegiatan perdagangan bebas dikawasan perbatasan, walaupun perdagangan bebas
dimaksud tidak dalam skala besar pada tahap awalnya. Ketersediaan fasilitas
kepelabuhan perlu disiapkan dan dikembangkan, seperti dermaga, terminal
penumpang, lahan penumpukan barang (kontainer), gudang, perkantoran, fasilitas
CIQ serta pengamanan harus sudah disiapkan. Kenyataannya seluruh fasilitas
dimaksud sudah tersedia pada pelabuhan laut Tunon Taka; hanya saja setatus
pelabuhan tersebut belum sebagai Pelabuhan ekspor – impor.
Rencananya Pemerintah
daerah akan segera memindahkan lalu
lintas pergerakan orang dari Nunukan menuju Tawao atau sebaliknya, yang semula
berada di Tunon Taka, dialihkan ke Lamijung yang nantinya akan menjadi PPLB
Laut (dilengkapi CIQS) Keberadaan Tunon Taka dan Lamijung ini dalam jangka
pendek sudah relevan untuk mendukung terwujudnya perdagangan bebas lintas
batas, karena selama ini antara Nunukan dan Tawao sudah terjadi kegiatan ekspor
- impor melalui mekanisme perdagangan lintas batas berdasarkan ketentuan BTA.
Apa yang terjadi saat ini
memang seolah dan nyatanya menjadikan posisi Nunukan tidak mengun tungkan;
karena hal yang tidak mungkin dipungkiri lagi adalah produk olahan dari
Malaysia sudah membanjiri pasaran retail di Sebatik, Nunukan, bahkan sudah
merambah Tarakan; padahal belum tentu produk produk tersebut sesuai dengan
standar laik sehat yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia (SNI).
Hal seperti ini mestinya
harus dapat dilihat sebagai bagian dari proses alami. Sebab sejak zaman
kolonial dahulu, Tawau memang sudah lebih berkembang bila dibandingkan dengan
Nunukan apalagi Sebatik. Dihadapkan pada
kondisi demikian, maka langkah yang bijak dan terbaik adalah memformalkan
kegiatan perdagangan lintas batas ini, menjadi perdagangan bebas lintas batas.
Dengan demikian Pemerintah agar mempertim bangkan perubahan status Pelabuhan Tonan Taka menjadi
pelabuhan ekspor - impor; atau pelabuhan lainnya di Pulau Sebatik dalam rangka
menjadikan Sebatik sebagai kawasan perkotaan, dengan basis agroindustri dan
jasa maritim. Keberadaan pelabuhan
ekspor - impor ini adalah sebagai pintu keluar - masuk tunggal kegiatan
perdagangan bebas, tidak hanya untuk perdagangan bebas lintas batas, namun
lebih luas dari itu, yaitu dipersiapkan untuk perdagangan luar negeri yang
mencakup BIMP-EAGA-Asean-Brunai-Malaysia-Indonesia dan Filipina.
Langkah berikutnya, secepatnya merealisasikan Lamijung sebagai
PPLB (CIQS), untuk keperluan lalu lintas orang antar Negara. Pergerakan
pelintas batas ini, baik menggunakan passport atau pass lintas batas tidak
menutup kemungkinan akan membawa barang, baik untuk keperluan pribadi maupun
dagang. Adanya PPLB ini maka kegiatan keluar masuknya orang/barang dapat lebih
terpantau dengan baik. PPLB lainnya ditempatkan di Pulau Sebatik. Keberadaan
kedua PPLB tersebut, apabila sudah berfungsi dengan baik, maka pelbagai pos
lintas batas tradisional yang ada harus ditutup
secara bertahap, mengingat
selama ini kegiatan perdagangan
illegal banyak melalui pos tradisional dimaksud, yang sudah menyatu dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Langkah berikutnya upaya
memberi nilai tambah pada produk hasil bumi, hasil laut dengan jalan melakukan
pengolahannya terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan adanya Border Trade Zone
(BTZ) dalam kawasan PPLB. Konsepsi BTZ ini identik dengan upaya perluasan
marketing. Dalam kawasan ini dipertemukan penjual - pembeli, dengan memperdagangkan produk setegah jadi atau
untuk sementara produk ekstratif; BTZ
ini perlu dilengkapi fasilitas gudang untuk transit (penyimpa nan sementara)
produk yang diperdagangkan; didukung sistem pengelolaan profesional, transaksi
perdagangan (ekspor), bongkar muat yang dapat diselesaikan cepat dan
profesional, serta langsung dapat dikapalkan atau sementara menunggu proses
administratifnya, produk tersebut dapat dititipkan di gudang transit) sebelum
diekspedisikan menuju pelabuhan ekspor - impor (kapal).
Langkah berikutnya,
memastikan produk yang diperdagangkan merupakan produk unggulan kawasan; unggul
dari segi apa saja, mulai dari kualitas produk, harga jual yang kompetitip;
tentu ini membutuhkan strategi dan taktis yang komprehensip mulai dari upaya perbaikan pada faktor
pembudidayaannya yang didukung faktor penanganan pasca produksi; sudah ada
sentuhan teknologi (kompetitif dinamis). Produk unggulan sejatinya diproduksi
dalam skala besar, sehingga ini hanya dimungkinkan oleh perusahaan yang
memiliki modal besar dan lahan usaha yang luas dengan pola Inti-Plasma.
Sementara produksi yang dilakukan secara individual terutama penduduk lokal,
harus dihimpun terlebih dahulu dalam suatu lembaga usaha bersama semisal
"koperasi".
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batam
[2] Drs. Dumairy, MA. 1997.
Perekonomian Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Penerbit Erlangga. Hal
10.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete