February 22, 2017

Mengangkat Harkat Lukisan Pemandangan Dari Desa

Mengangkat Harkat Industri Lukisan Pemandangan Dari Desa

Didi Suryadi (24) mewarisi kampung lukisan yang dirintis kakeknya, Odin Rohidin, di Jelekong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/2). Terdapat sekitar 600 pelukis di kampung ini dan karya-karya mereka telah melanglang buana. Surat kontrak produksi 480 lembar lukisan abstrak selama Februari 2017 disepakati Didi Suryadi (24). Lukisan sebanyak itu, menurut rencana, akan digantung di dinding sebuah hotel di Malaysia. Hebatnya, Didi bertekad menyelesaikannya seorang diri. Itulah sebagian fenomena industri lukisan di Jelekong. ”Di sini, lukisan jadi kerajinan. Harganya murah. Jual lukisan untuk kepentingan perut,” kata Didi, Ketua Komunitas Gurat Jelekong, di Desa Jelekong, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/2).



Desa Jelekong dirintis menjadi desa produsen lukisan rakyat sejak 1969 oleh mendiang Odin Rohidin (1930-an hingga 2011). Lukisan Odin memiliki corak pemandangan gunung, sawah, dan sungai. Corak seperti itu menjadi patron untuk mazhab lukisan Jelekong. Namun, seiring zaman, mereka kemudian menyesuaikan dengan kebutuhan pasar.Lukisan sebanyak 480 pesanan hotel di Malaysia itu terdiri dari 200 lukisan berukuran 40 cm x 60 cm dan 200 lukisan berukuran 60 cm x 150 cm. Kemudian, 80 lukisan lainnya berukuran 80 cm x 150 cm. ”Ini 75 persen sudah selesai, sehari saya bisa melukis sampai 50 lukisan abstrak,” ujar Didi yang lulus dari bangku SMP swasta di Desa Jelekong.
Tangan keempat 
Harga lukisan pesanan hotel di Malaysia itu berturut-turut dari yang terkecil seharga Rp 150.000, Rp 300.000, hingga Rp 400.000. Didi menjadi tangan keempat yang menangani produksi dari sebuah sistem pemasaran lukisan untuk dijual ke luar negeri oleh suatu perusahaan yang berada di Buah Batu, Bandung. Didi tumbuh di tengah keluarga yang mengandalkan usaha melukis. Kakaknya, Ibat Supriyatna (30), menangani produksi kain kanvas siap lukis. Hasil produksinya memiliki tiga jenis kanvas mulai dari yang paling tipis Rp 50.000, Rp 75.000, hingga Rp 125.000 per rol dengan ukuran 1,5 meter x 3 meter. Adiknya, Dinar Sumarna, mengumpulkan lukisan warga Jelekong untuk didistribusikan ke sejumlah kota, terutama di Jawa dan Bali. Sejak 2016, Didi ditunjuk menjadi Ketua Komunitas Gurat Jelekong. Sekarang anggotanya tercatat sampai 600 pelukis.
Semuanya warga Desa Jelekong.

”Berdasarkan survei kami ke beberapa pengusaha lukisan di Bali, setidaknya per hari ada 5.000 lukisan dari Jelekong dikirim ke Bali. Orang yang membeli lukisan tentang Bali di Bali tidak tahu kalau kamilah yang membuatnya,” kata Didi. Deden Rahmat Jazuli (40), anak sulung mendiang Odin Rohidin, mengatakan, sebelum mengajar melukis kepada warga Desa Jelekong, ayahnya menjadi pemain drama di Jakarta. Saat itu pula ayahnya bertemu dengan pelukis asal Cileunyi bernama Setiawan. Odin belajar melukis dari Setiawan. Ketika pulang ke Jelekong, sejak 1969, Odin mulai mengajar melukis warga desa tempat ia dilahirkan.

Uga Surgana (62), salah seorang murid pertama Odin, mulai belajar melukis pada 1974. Sebelumnya, Uga bekerja sebagai kernet opelet. Menurut Uga, murid-murid Odin terus bertambah banyak. Lukisan pada awalnya dijual di hotel-hotel di Kota Bandung. Selanjutnya, lukisan dari Desa Jelekong dipasarkan ke kota-kota besar di Jawa dan Bali sampai sekarang.Bahkan, lukisan Jelekong-lah yang dipasarkan berkeliling dengan dipikul. Harganya murah.
”Di antara kami yang melukis sekarang, sekitar 80 persen menggantungkan hidup dari melukis. Selebihnya, 20 persen ada yang melukis sambil menjalankan usaha lain, seperti beternak kambing, mengolah sawah, mengelola kebun, dan usaha transportasi,” kata Didi. Kebersahajaan warga Desa Jelekong selama puluhan tahun sudah menghadirkan lukisan rakyat.
Desa Penestanan
Tidak jauh berbeda, suatu desa di Ubud, Bali, yakni Desa Penestanan, juga menyuguhkan lukisan rakyat dengan riwayatnya tersendiri. Semula warga Desa Penestanan hidup sebagai petani. Hingga pada 1960, seorang tentara Belanda yang juga perupa bernama Arie Smit meletakkan dasar perubahan masyarakat Penestanan. Cerita yang lestari hingga kini mengisahkan, saat itu Arie keliling kampung dan mendapati beberapa anak desa mencorat-coret tanah dengan ranting pohon. Dia mengamati gambar anak itu dan tertarik karena keindahannya.
”Dia memuji, katanya, gambar saya bagus dan saya diajak untuk diajari melukis. Saya bilang tidak bisa karena harus menggembala bebek,” kata I Ketut Soki, salah seorang murid pertama Arie yang tidak tahu kapan dia lahir dan hanya bisa memperkirakan usianya kini menginjak 78 tahun.Soki yang kala itu masih duduk di sekolah rakyat lantas diajak Arie menemui ayahnya. Kepada ayah Soki, Arie meminta izin, tetapi ditolak dengan alasan Soki harus menggembala 150-an bebek. ”Saya beli 100 bebekmu dan ini uang untuk bapak sebagai bayaran memelihara bebek. Tetapi, Soki harus ikut saya melukis,” kata Soki menirukan ucapan Arie waktu itu.
Setelah itu, Soki belajar melukis. Cerita itu tidak berbeda dengan cerita pemilik Neka Art Museum, Pande Wayan Suteja Neka. Begitu juga paparan Agus Dermawan T dalam Arie Smit: Hikayat Luar Biasa Tentara Penembak Cahaya (2014). Sebelum Soki, Arie sudah merekrut Nyoman Tjakra.”Dia merekrut banyak anak dan kemudian banyak yang ingin ikut. Arie kemudian membatasi hanya 40 anak,” kata Neka yang turut merawat Arie hingga meninggal pada usia 100 tahun kurang tiga pekan pada Maret tahun lalu.
Para murid Arie ini lalu disebut Young Artist. Mereka antara lain Ketut Tagen, Nyoman Londo, Made Sinteg, Made Lasir, Wayan Pugur, Nyoman Gerebig, Gusti Ngurah KK, Nyoman Tjakra, dan tentu saja Ketut Soki. Soki belajar banyak dari Arie terutama cara membuat garis dan mengukuhkan inspirasi dalam kanvas. Dari sana, dia menemukan ciri khasnya dalam melukis. ”Saya biasa melukis tentang sawah, pemandangan, dan upacara adat,” kata Soki di sela-sela membuat pola lukisan di galerinya. Dia kini memercayakan pewarnaan kepada keponakan yang juga muridnya.
Mengubah
Sentuhan Arie kepada para bocah itu mengubah lanskap perekonomian warga Panestanan. Soki, misalnya, mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana, bahkan menjadi dokter. Begitu juga I Wayan Gama (57) yang sempat dua tahun belajar kepada Arie dan kemudian melanjutkan belajar melukis di Sekolah Menengah Seni Rupa Batubulan. Dia membuat ciri khas lukisan katak dan bebek di galerinya.

Bagi Gama, melukis diandalkan sebagai penghasilan utama. Dengan harga Rp 100.000 sampai puluhan juta rupiah per lukisan, dia bisa menghidupi istri dan tiga anaknya. ”Kalau lagi sepi seperti sekarang ini, kami masih bisa bertahan karena punya bisnis penginapan meski hanya beberapa kamar,” kata Nyoman Bakti (49), istri Gama. Setidaknya terdapat lima galeri besar dan beberapa galeri kecil yang nyaris mati di Desa Penestanan. Salah satu galeri yang mencolok adalah Manacika milik suami-istri Made Pung Winata (47) dan Wayan Widi Armini (41). Manacika bahkan membuka cabang di Bogor, Jawa Barat, dan Mal Taman Anggrek, Jakarta. Galeri Manacika menampung hingga 400 lukisan dari berbagai seniman, termasuk karya-karya Young Artist.
Di halaman depan galeri hingga ke ruang paling belakang penuh dengan lukisan. Bahkan, di halaman parkir pun terpajang lukisan jumbo yang dijual. Di beberapa galeri, terlihat kondisi serupa. Ada juga beberapa galeri kecil di pinggir jalan yang dibiarkan terbuka tanpa penunggu. Beberapa lukisan menumpuk dan berdebu. Tampak sekali galeri itu tak terurus. Begitulah Jelekong dan Penestanan mengisi lanskap seni rupa Tanah Air. Berangkat dari para petani yang berguru kepada seniman, kedua desa itu akhirnya dikenal sebagai desa yang memproduksi pemandangan sebagai bagian dari geliat industri kreatif.

( Sumber : Kompas, 19 Februari 2017, oleh M Hilmi Faiq/Benediktus Krisna Yogatama/Nawa)