Mengangkat
Harkat Industri Lukisan Pemandangan Dari Desa
Didi
Suryadi (24) mewarisi kampung lukisan yang dirintis kakeknya, Odin Rohidin, di
Jelekong, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (2/2). Terdapat sekitar 600
pelukis di kampung ini dan karya-karya mereka telah melanglang buana. Surat
kontrak produksi 480 lembar lukisan abstrak selama Februari 2017 disepakati
Didi Suryadi (24). Lukisan sebanyak itu, menurut rencana, akan digantung di
dinding sebuah hotel di Malaysia. Hebatnya, Didi bertekad menyelesaikannya
seorang diri. Itulah sebagian fenomena industri lukisan di Jelekong. ”Di sini,
lukisan jadi kerajinan. Harganya murah. Jual lukisan untuk kepentingan perut,”
kata Didi, Ketua Komunitas Gurat Jelekong, di Desa Jelekong, Kecamatan
Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (14/2).
Desa
Jelekong dirintis menjadi desa produsen lukisan rakyat sejak 1969 oleh mendiang
Odin Rohidin (1930-an hingga 2011). Lukisan Odin memiliki corak pemandangan
gunung, sawah, dan sungai. Corak seperti itu menjadi patron untuk mazhab
lukisan Jelekong. Namun, seiring zaman, mereka kemudian menyesuaikan dengan
kebutuhan pasar.Lukisan sebanyak 480 pesanan hotel di Malaysia itu terdiri dari
200 lukisan berukuran 40 cm x 60 cm dan 200 lukisan berukuran 60 cm x 150 cm.
Kemudian, 80 lukisan lainnya berukuran 80 cm x 150 cm. ”Ini 75 persen sudah
selesai, sehari saya bisa melukis sampai 50 lukisan abstrak,” ujar Didi yang
lulus dari bangku SMP swasta di Desa Jelekong.
Tangan keempat
Harga
lukisan pesanan hotel di Malaysia itu berturut-turut dari yang terkecil seharga
Rp 150.000, Rp 300.000, hingga Rp 400.000. Didi menjadi tangan keempat yang
menangani produksi dari sebuah sistem pemasaran lukisan untuk dijual ke luar
negeri oleh suatu perusahaan yang berada di Buah Batu, Bandung. Didi tumbuh di
tengah keluarga yang mengandalkan usaha melukis. Kakaknya, Ibat Supriyatna
(30), menangani produksi kain kanvas siap lukis. Hasil produksinya memiliki
tiga jenis kanvas mulai dari yang paling tipis Rp 50.000, Rp 75.000, hingga Rp
125.000 per rol dengan ukuran 1,5 meter x 3 meter. Adiknya, Dinar Sumarna,
mengumpulkan lukisan warga Jelekong untuk didistribusikan ke sejumlah kota,
terutama di Jawa dan Bali. Sejak 2016, Didi ditunjuk menjadi Ketua Komunitas
Gurat Jelekong. Sekarang anggotanya tercatat sampai 600 pelukis.
Semuanya warga Desa Jelekong.
”Berdasarkan
survei kami ke beberapa pengusaha lukisan di Bali, setidaknya per hari ada
5.000 lukisan dari Jelekong dikirim ke Bali. Orang yang membeli lukisan tentang
Bali di Bali tidak tahu kalau kamilah yang membuatnya,” kata Didi. Deden Rahmat
Jazuli (40), anak sulung mendiang Odin Rohidin, mengatakan, sebelum mengajar
melukis kepada warga Desa Jelekong, ayahnya menjadi pemain drama di Jakarta.
Saat itu pula ayahnya bertemu dengan pelukis asal Cileunyi bernama Setiawan. Odin
belajar melukis dari Setiawan. Ketika pulang ke Jelekong, sejak 1969, Odin
mulai mengajar melukis warga desa tempat ia dilahirkan.
Uga
Surgana (62), salah seorang murid pertama Odin, mulai belajar melukis pada
1974. Sebelumnya, Uga bekerja sebagai kernet opelet. Menurut Uga, murid-murid
Odin terus bertambah banyak. Lukisan pada awalnya dijual di hotel-hotel di Kota
Bandung. Selanjutnya, lukisan dari Desa Jelekong dipasarkan ke kota-kota besar
di Jawa dan Bali sampai sekarang.Bahkan, lukisan Jelekong-lah yang dipasarkan
berkeliling dengan dipikul. Harganya murah.
”Di
antara kami yang melukis sekarang, sekitar 80 persen menggantungkan hidup dari
melukis. Selebihnya, 20 persen ada yang melukis sambil menjalankan usaha lain,
seperti beternak kambing, mengolah sawah, mengelola kebun, dan usaha
transportasi,” kata Didi. Kebersahajaan warga Desa Jelekong selama puluhan
tahun sudah menghadirkan lukisan rakyat.
Desa Penestanan
Tidak
jauh berbeda, suatu desa di Ubud, Bali, yakni Desa Penestanan, juga menyuguhkan
lukisan rakyat dengan riwayatnya tersendiri. Semula warga Desa Penestanan hidup
sebagai petani. Hingga pada 1960, seorang tentara Belanda yang juga perupa
bernama Arie Smit meletakkan dasar perubahan masyarakat Penestanan. Cerita yang
lestari hingga kini mengisahkan, saat itu Arie keliling kampung dan mendapati
beberapa anak desa mencorat-coret tanah dengan ranting pohon. Dia mengamati
gambar anak itu dan tertarik karena keindahannya.
”Dia
memuji, katanya, gambar saya bagus dan saya diajak untuk diajari melukis. Saya
bilang tidak bisa karena harus menggembala bebek,” kata I Ketut Soki, salah
seorang murid pertama Arie yang tidak tahu kapan dia lahir dan hanya bisa
memperkirakan usianya kini menginjak 78 tahun.Soki yang kala itu masih duduk di
sekolah rakyat lantas diajak Arie menemui ayahnya. Kepada ayah Soki, Arie
meminta izin, tetapi ditolak dengan alasan Soki harus menggembala 150-an bebek.
”Saya beli 100 bebekmu dan ini uang untuk bapak sebagai bayaran memelihara
bebek. Tetapi, Soki harus ikut saya melukis,” kata Soki menirukan ucapan Arie
waktu itu.
Setelah
itu, Soki belajar melukis. Cerita itu tidak berbeda dengan cerita pemilik Neka
Art Museum, Pande Wayan Suteja Neka. Begitu juga paparan Agus Dermawan T dalam
Arie Smit: Hikayat Luar Biasa Tentara Penembak Cahaya (2014). Sebelum Soki, Arie
sudah merekrut Nyoman Tjakra.”Dia merekrut banyak anak dan kemudian banyak yang
ingin ikut. Arie kemudian membatasi hanya 40 anak,” kata Neka yang turut
merawat Arie hingga meninggal pada usia 100 tahun kurang tiga pekan pada Maret
tahun lalu.
Para
murid Arie ini lalu disebut Young Artist. Mereka antara lain Ketut Tagen,
Nyoman Londo, Made Sinteg, Made Lasir, Wayan Pugur, Nyoman Gerebig, Gusti
Ngurah KK, Nyoman Tjakra, dan tentu saja Ketut Soki. Soki belajar banyak dari
Arie terutama cara membuat garis dan mengukuhkan inspirasi dalam kanvas. Dari
sana, dia menemukan ciri khasnya dalam melukis. ”Saya biasa melukis tentang
sawah, pemandangan, dan upacara adat,” kata Soki di sela-sela membuat pola
lukisan di galerinya. Dia kini memercayakan pewarnaan kepada keponakan yang
juga muridnya.
Mengubah
Sentuhan
Arie kepada para bocah itu mengubah lanskap perekonomian warga Panestanan. Soki,
misalnya, mampu menyekolahkan anaknya hingga sarjana, bahkan menjadi dokter.
Begitu juga I Wayan Gama (57) yang sempat dua tahun belajar kepada Arie dan
kemudian melanjutkan belajar melukis di Sekolah Menengah Seni Rupa Batubulan.
Dia membuat ciri khas lukisan katak dan bebek di galerinya.
Bagi
Gama, melukis diandalkan sebagai penghasilan utama. Dengan harga Rp 100.000
sampai puluhan juta rupiah per lukisan, dia bisa menghidupi istri dan tiga
anaknya. ”Kalau lagi sepi seperti sekarang ini, kami masih bisa bertahan karena
punya bisnis penginapan meski hanya beberapa kamar,” kata Nyoman Bakti (49),
istri Gama. Setidaknya terdapat lima galeri besar dan beberapa galeri kecil
yang nyaris mati di Desa Penestanan. Salah satu galeri yang mencolok adalah
Manacika milik suami-istri Made Pung Winata (47) dan Wayan Widi Armini (41).
Manacika bahkan membuka cabang di Bogor, Jawa Barat, dan Mal Taman Anggrek,
Jakarta. Galeri Manacika menampung hingga 400 lukisan dari berbagai seniman,
termasuk karya-karya Young Artist.
Di
halaman depan galeri hingga ke ruang paling belakang penuh dengan lukisan.
Bahkan, di halaman parkir pun terpajang lukisan jumbo yang dijual. Di beberapa
galeri, terlihat kondisi serupa. Ada juga beberapa galeri kecil di pinggir
jalan yang dibiarkan terbuka tanpa penunggu. Beberapa lukisan menumpuk dan
berdebu. Tampak sekali galeri itu tak terurus. Begitulah Jelekong dan
Penestanan mengisi lanskap seni rupa Tanah Air. Berangkat dari para petani yang
berguru kepada seniman, kedua desa itu akhirnya dikenal sebagai desa yang
memproduksi pemandangan sebagai bagian dari geliat industri kreatif.
(
Sumber : Kompas, 19 Februari 2017, oleh M Hilmi Faiq/Benediktus Krisna
Yogatama/Nawa)
Saya pendatang baru di Room ini ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada Aki karena berkat bantuan Number togel 4D yang AKI berikan ternyata benar-benar tembus dan alhamdulillah AKI saya menang angka sebanyak Rp 170 juta dalam bentuk uang Indonesia saya menang banyak karena saya pasang angka AKI MANGKUBONO dari 5 bandar di sini,saya tidak tau harus berbuat apa untuk membalas kebaikan AKI,awalnya saya kurang yakin dengan angka yang AKI berikan kalau ternyata alhamdulillah saya menang 4D lagi dan kalau boleh saya jujur AKI sudah berapa banyak peramal di internet yang saya hubungi tidak ada satupun yang tembus malahan hutang-hutang saya bertambah banyak tapi dengan bantuan AKI kini kehidupan saya jauh lebih sukses dari pada sebelumnya ini dan alhamdulillah saya ada rencana pulang kampung sebelum hari raya AKI karena sudah 4 tahun di HONGKONG jadi pembantu tidak pernah pulang ke indonesia tapi karena bantuan AKi saya akan pulang ketemu ke dua orang tua saya itu semua berkat bantuan AKI jadi bagi teman-teman pencinta togel yang tidak pernah merasakan kemenangan 4D silahkan hubungi AKI MANGKUBONO di nomor : 085203333887 Karena angka yang di berikan AKI MANGKUBONO sudah buktikan dalam 5 putaran ini tidak perna meleset dan saya pastikan anda tidak akan kecewah dan anda jangan mudah tergiur dengan janji-janji saatnya kita perlu bukti cuma AKI MANGKUBONO yang menjamin 100% kemenangan.kalau mau bukti hubungi sekarang....? DARI SAYA IBU Elah TKI DARI HONGKONG.
ReplyDelete