Buku buku Tentang Perbatasan & Bisnis Online Yang Bisa dimanfaatkan Dari Perbatasan,Beli Dua"BEBAS ONGKIR"
Kalau ingat perbatasan, maka saya juga akan mengingat kehidupan masa kecil saya. Masa kecil yang menyenangkan. Menyenangkan dalam suasana kesederhanaan. Kesederhanaan Desa terpencil bagai di perbatasan. Sebagai penulis, saya tidak akan pernah lupa nasihat guru SR ( Sekolah Rakyat, kini SD), guru idola saya lima puluhan tahun lalu. Ketika itu kita masih di kelas 3 SR. Setiap ada kesempatan beliau selalu memberi motivasi dan selalu menyemangati. Kalau kalian ingin jadi murid bapa dan berhasil, maka inilah tugas-tugas yang harus kalian lakukan dengan baik. Pertama, kalian harus bisa pelajaran tambah, kali dan bagi mulai dari satu sampai 10 di luar kepala. Kedua, kalian harus bisa menunaikan shalat, dan bisa jadi imam dalam melaksanakan shalat. Ketiga, kalian harus bisa “berpidato” di depan kelas. Keempat, kalian harus bisa menuliskan “ceritra” dengan baik dan enak dibaca dan bisa menceritrakannya dan enak didengar.
Bagi kalian yang ingin
melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, maka kalian harus bisa dan jadikan ini
sebagai modalmu. Kamu akan bisa hidup senang di kampungmu ataupun kalau kamu
merantau. Pertama, kamu harus bisa menanak nasi. Menanak nasi dengan benar,
mulai dari persiapan kayu bakarnya (waktu itu belum ada kompor, yang ada baru
kayu bakar) hingga menghidangkannya. Kedua,
bisa mencuci dan menyetrika pakaian kalian sendiri (sterika juga masih
pakai arang kayu atau batok kelapa, belum ada listrik). Ketiga, bisa naik
sepeda (kala itu belum ada sepeda motor,sepeda juga model sepeda ontel besar).
Keempat, bisa menjadi penjual”Es lilin” jajanan yang berhasil (kala itu es
lilin dalam termos, Es bisa dijajakan dan kalau laku kita dapat komisi).
Kelima, kalian harus bisa jadi “penyadap karet” yang baik; Sebetulnya yang paling menarik dari ceritra beliau
itu adalah ilustrasi di setiap ketrampilan yang dijelaskannya.
Kalau semua ini kalian bisa
lakukan dengan baik, maka percaya sama bapa kamu akan bisa sekolah ke mana
saja, ke negeri mana saja dengan “kekuatan kamu” sendiri. Sejak itu apa yang
disampaikan Guru saya itu…betul-betul menjadi azimat yang saya pelajari dan
ikhtiarkan agar bisa saya wujutkan; bahasa masa kininya mewujudkannya secara
professional, ahli dan jadi trampil dalam bidang yang ada di lingkungan kita
berada. Logikanya. Kalau kita punya ketrampilan yang sesuai atau dibutuhkan
oleh lingkungan kita sendiri, maka tidak terasa kita sudah bisa beradaptasi
dengan lingkungan, merasa dihargai dan diterima oleh lingkungan. Dalam kondisi seperti
itu kita percaya dan yakin semua “jalan, semua ketrampilan adalah Emas”. Saya
sangat ingin menyampaikan pesan-pesan beliau itu kembali dalam versi Catata
Blog Seorang Prajurit Perbatasan dengan bahasa
apa adanya…
Melihat desa tertinggal
di perbatasan tentu tidak semua orang dapat “melihatnya”, karena untuk bisa
melihat ketertinggalan itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang tahu makna
“tertinggal” itu sendiri. Desa tertinggal itu, ya jauh darimana-mana. Secara
fisik desa itu baru dicapai setelah melakukan “perjalanan kaki”, selama satu
atau dua hari, karena memang akses jalannya belum ada. Di sepanjang jalan kaki
itu, sama sekali tidak ada “warung”. Karena memang semuanya masih berupa hutan
dan hutan belukar. Kemudian sampailah anda ke perkampungan tertinggal itu. Ya
benar-benar kampung apa adanya. Warung sudah ada, tetapi yang di jual hanya
sebatas, beras, garam dan berbagai super mie serta jajanan anak-anak berupa
permen dan sejenisnya. Rokok memang ada, tetapi lebih banyak jenis tembakau dan
kertas linting. Pendek kata hanya sepertiga dari keperluan sehari-hari,mereka
bisa beli juga karena masih bisa dengan cara barter. Jual kelapa, kemudian beli
minyak tanah dst.dst.
Berikut Buku-Buku Yang
Saya Tulis
Bila di diskripsikan dengan kata-kata masyarakat pedesaan perbatasan terpencil adalah masyarakat yang relatf tertutup, mempunyai ketergantungan kuat dengan alam. Melakukan kegiatan produksi yang bersifat subsistence atau peramu, sekedar mengambilnya dari alam dengan mata pencaharian serabutan. Tidak ada atau memperoleh pelayanan sosial yang sangat minim, menyebabkan tumbuhnya tingkat kualitas SDM yang relatif sangat rendah. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat pedesaan terpencil, khususnya masyarakat adat, mampu menghasilkan produk budaya berkualitas tinggi seperti ukiran suku Asmat, tato suku Mentawai, pengelolaan hutan yang harmonis suku Baduy, dll.
Saya masih ingat
kehidupan dikampung saya di Aekgarugur, Tapanulis Selatan di tahun-tahun 60 an.
Kampung yang menghubungkan jalan raya provinsi dengan Kampung Sipotang Niari (±
20 km) lewat tengah hutan dan persawahan. Jalan memang sudah ada, tetapi masih
sebatas diperkeras, hanya bisa dilewati oleh Pedati, kuda beban dan sepeda
ontel. Geliat ekonomi ada, dan warung-warung di sepanjang jalan itu sudah hidup
terutama oleh pelaku usaha “transportasi”, di sana sudah kita temukan
tempat-tempat warung untuk pangkalan Pedati, ada pula tempat persinggahan bagi
para pemilik kuda beban dan juga bagi para pelaku transportasi sepeda ontel
para pemikul barang. Mereka membawa hasil bumi (padi, kopi,karet dll) dari
sawah, kebun ke perkampungan di sepanjang jalan tersebut, dan kemudian membawa
keperluan primer sehari-hari dan sekunder lainnya dari Kampung Aekgarugur atau
Sayurmatinggi ke kampung-kapung sepanjang jalan ke Sipotang Niari. Layanan dari
pemerintah masih sangat terbatas, belum ada listrik, lokasi sekolahan 4km dari
kampung, tidak ada puskesmas tapi untunglah terdapat satu Rumah Sakit di
Sayurmatinggi. Jadi kalau ada yang sakit dari desa Sipotang Niari maka cara
membawanya adalah dengan ditandu cara sederhana. Kain sarung diusung dengan
tiang bambu sebagai tandu, sipesakitan di tidurkan untuk kemudian diusung oleh
dua orang, biasanya ada dua pasang tenaga “ganti” yang secara terus menerus
bergantian. Jalan 20 km dengan mengusung orang sakit secara bergantian dan
marathon adalah sesuatu yang biasa kala itu dan hal itu membutuhkan waktu satu
sampai dua harian penuh. Sementara Rumah Sakitnya juga kira-kira setara dengan
Puskesmas sekarang ini.
Meski tinggal di
kampung terpencil, tetapi ke sekolah terus saja berlanjut. Sejujurnya saya juga
tidak mengerti mengapa saya masih terus saja sekolah, padahal jumlah anak SR di
sekolahan saya itu hanya tinggal 9 anak lagi, itupun sudah dari berbagai
kampung tetangga. Dari kampung saya sendiri hanya tinggal saya saja, yang masih
sekolah. Tetapi hebatnya lagi, saya ikut dua sekolah. Pagi jadi murid di SR dan
Sore hari ikut Sekolahan Agama. Praktis semua teman-teman di kampung sudah
tidak ada lagi yang bersekolah, saya juga sebenarnya ingin juga seperti mereka.
Tapi kedua orang tua tidak pernah meminta saya untuk berhenti, dan saya terus
melakoninya begitu saja.
Sehabis di SR saya
harus ikut dengan keluarga ke Kotanopan untuk bersekolah di SMP Kotanopan.
Padahal jarak dari Kampung ke Kotanopan itu sekitar 80 Km. Meski jaraknya 80
km, tetapi pada masa itu harus di tempuh selama satu hari perjalanan dengan
mobil antar Kota. Namanya mobil Adianbania. Mobil itu memang setiap hari ada 5
trayek dari Kotanopan-Padangsidimpuan. Mereka dari Kotanopan pada pagi hari,
mulai dari jam 05.00 pagi dan pulang lagi dari Padangsidimpuan kembali ke
Kotanopan. Nah kalau saya naik dari Kampung saya misalnya jam 09.00, saya harus
jalan kaki dahulu sejauh 2 km ke pinggir jalan, menunggu Adianbania dari
Padangsidimpuan dan baru sampai di Kotanopan Jam 17.00. Tamat dari SMP
Kotanopan, saya kemudian melanjutkan ke SMA Kotanopan. Tetapi sayangnya, saya
harus dipindahkan ke SMA Padangsidimpuan, karena kebetulan dari anak-anak SMA
klas satu naik ke kelas dua ada 4 orang anak yang masuk katagori jurusan
Pas/Pal. Saya termasuk salah satunya. Untungnya semua keperluan perpindahannya
diatur oleh sekolahan. Jadi saya resmi menjadi Anak kelas II Pas/Pal di SMA 2
Padangsidimpuan. Saya sangat menikmati suasana sekolah saya di Padangsidimpuan.
Karena setiap sabtu sore saya bisa pulang ke Aekgarugur (± 30km) dan besok
paginya saya bisa manderes karet. Jadi tiap minggu saya bisa dapat uang sendiri
dari manderes karet uang setara RP75 -100 ribu. Dalam pergaulan saya, saya ikut
Klub Boxing, dan pelari Marathon. Nah yang juga menarik adalah setamat SMA dan
perubahan sikap mencari Pendidikan Berikutnya.
Terus terang, saya tadinya tidak punya niat
untuk kuliah lagi. Hal itu disebabkan keuangan orang tua dan juga belum ada
contohnya anak yang berhasil kuliahnya di Kampung saya. Malah sebaliknya mereka
telah menghabiskan semua kebun dan sawah orang taunya, tetapi sekolah juga
tidak selesai-selesai. Tetapi sekitar dua minggu sebelum pengumuman kelulusan
SMA, saya main ke sekolahan saya. Saat itulah saya baru sadar bahwa sebagian
besar teman-teman saya sudah pada punya rencana kuliah. Mereka umumnya ke
Medan, Padang, Palembang da nada juga yang ke Jakarta, Bogor dan Yogyakarta.
Pada saat itulah hati saya berguncang, dalam hati saya sangat yakin bahwa
dengan ketrampilan hidup ( bisa menderes karet, bisa bersawah, bisa berkebun,
bisa berjualan sayur mayur dengan sepeda, bisa berjualan minyak tanah dengan
sepeda dll) yang sudah saya lakoni di Kampung saya, maka saya percaya saya akan
mampu menghidupi diri saya sendiri dan bahkan yakin mampu mengkuliahkan diri
sendiri, dimanapun kotanya. Pulang dari Sekolahan niat itu saya bicarakan
dengan keluarga. Intinya adalah, keluarga mau mendukung Kuliah ke Yogya dengan
Rp 15 ribu serta mampu membiayai sebesar Seribu rupiah perbulan. Waktu itu
harga beras masih sekitar 30 rupiah/Kg. Jadi perhitungan saya dengan besar 10
kg atau Rp 300 dan dengan uang Rp 700 lainnya saya akan bisa hidup di Yogya
dengan pola saya sendiri. Maka kesampaianlah cita-cita saya untuk meneruskan
Kuliah ke Yogyakarta. Soal gimana nantinya? Yan anti sajalah dibicarakan. Toh
kalau misalnya gagal juga, ya kembali ke Kampung. Begitu saja.
Pernah dengar dengan istilah tentang anak batak di perantauan kan? Batak tembak
langsung. Tapi ini untuk setting ceritra tahun tahun 70an. Itu menurut saya
adalah upaya untuk menggambarkan anak-anak batak yang di kampungnya sana, dia
dengan segala keterbatasannya. Dia yang aslinya belum tahu apa-apa, dia yang
tidak tahu apa itu universitas, apa itu aturan lalu lintas jalan; tidak tahu
mana saatnya stop dan mana saat jalan ketika melihat lampu setopan “abang-ijo”
di perempatan jalan. Tetapi semua itu
tidak menyurutkan semangat mereka untuk melanjutkan kuliah ke Jawa. Banyak dari
mereka yang kondisi orang tuanya, sungguh tidak memungkinkan untuk membiayai
kuliahnya. Tapi anak-anak batak itu tetap nekat. Tidak berbeda dengan anakan penyu yang meluncur ke laut, dari ribuan
yang berlari yang sampai hanya beberapa. Saya salah satu diantaranya. Saya waktu itu,
hanya berbekal uang sebesar 15 ribu rupiah dengan kesanggupan orang tua biaya
bulanan satu ribu perbulan, dengan tujuan
Yogyakarta. Ongkos kapal waktu itu sudah 6 ribu, uang daftar di UGM 3 ribu.
Belum lagi ini itu, jelas membaginya tidak bisa atau sangat sulit sekali.
Tapi itulah jalannya kehidupan, panggilan suratan tangan. Bagaimana anak
kampung dengan semua ke idiotannya menapaki hidup di kota besar metropolitan.
Banyak dari teman-teman meski tetap terbatas, tetapi umumnya punya uang bulanan
bervariasi, antara 15-25 ribu perbulan. Tapi hal itu sama sekali tidak memberi
pengaruh yang berlebihan bagi perjalanan nasibku. Sangat bersyukur karena meski
dengan berbagai keterbatasan itu, ternyata saya diterima kuliah di UGM. Saat
itu sebuah pencapaian luar biasa. Apalagi bagi seorang siswa lulusan SMA pedalaman dari Sumatera. Tetapi dengan uang satu
ribu rupiah perbulan jelas ini sebuah tantangan. Tantangannya nyata dan sungguh
luar biasa.
Saya sendiri punya jurus kehidupan langka tapi, menurut saya pas. Misalnya dalam
mencari tempat Kos, carilah di wilayah kota yang tidak ada listriknya.
Maksudnya agar segalanya lebih terjangkau dan murah. Lokasi itu saya temukan,
yakni di Gondolayu, pinggir kali Code. Memang kondisinya kumuh, dan tempat
mandinya juga di sumur-sumur seadanya di pinggiran kali code kala itu. Tapi bagi anak kampung seperti saya jelas
itu jauh lebih baik dari di Kampung. Waktu itu saya malah dapat tempat kost
yang tidak perlu bayar apa-apa.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana hidup dengan uang sebesar itu? Memang
harga beras waktu itu per kilonya masih rp 30 rupiah. Jadi 10 kg harganya
sebesar 300 rupiah. Tapi hidup dengan uang 700 rupiah perbulan, sudah termasuk
semuanya secara logika itu tidak masuk akal. Teman saya yang waktu itu kost di
asrama Realino, bayarannya sudah 15 ribu rupiah per bulan. Tapi saya sangat
percaya jalan pasti ada. Saya yakin
sekali, jalan untuk itu pasti ada. Cuma sayangnya saya
belum tahu. Dari berbagai analisa yang saya lakukan, maka jalan yang tersedia
adalah jadi penulis di koran harian. Karena menulis tidak terikat waktu, tidak
mengganggu waktu kuliah. Tapi menulis untuk bisa dimuat di koran tentunya,
bukanlah tulisan yang dibuat oleh penulis seperti saya yang tidak tahu apa-apa
tentang menulis. Tapi jalan itu jelas terbuka. Dan saya percaya jalan saya ada
di sana. Cuma bagaimana memulainya.
Saya beruntung dan tergolong anak anak yang mudah beradaptasi, dan dengan cepat
saya mendapatkan tugas sebagai pembersih dan penunggu “kantor” RW. Sebagai
petugas RW saya boleh memakai sarana itu kapan saja, tugas saya hanya merawat
kantor, mengetikkan dan menyampaikan surat-surat dinas dan undangan. Entah
bagaimana ceritanya, pak RW malah membolehkan saya tinggal di situ, lengkap
dengan makan minum gratis di warung yang ada di dekat kantor itu. Coba
bayangkan, alangkah murahnya hati pak RW itu. Tuhan menolongku lewat kebaikan
hati pak RW. Sederhananya saya dapat pekerjaan jadi penjaga dan merawat kantor
RW tanpa upah, tetapi sebaliknya saya bisa tinggal di kantor itu dan dapat
makan. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan, itu saya peroleh ketika saat
mandi di pinggiran kali code.
Sungguh saya sangat bersyukur karena “tangan Tuhan” memberikan saya begitu
mudahnya dan semuanya. Tempat tinggal dengan semua sarananya, malah ada
listrik, air ledeng dan mesin tik kantor yang bisa saya pakai sampai pagi.
Padahal umumnya warga di kampong
itu ya hanya dengan lampu teplok dan air sumur. Waktu itu, sasaran dan tekad
saya hanya satu jadi penulis. Menulis untuk mendapatkan honor bagi kelanjutan
kuliah. Sebagai mahasiswa UGM akses ke perpustakaan terbuka lebar, bahan bacaan
saya melimpah. Saya terus menulis, menulis, menulis dan menulis. Menulis dengan
mesin tik sebelas jari setiap ada kesempatan.
Sampai suatu hari setelah enam bulan mengetik tulisan siang dan malam. Salah satu tulisan saya dimuat di
Koran dua mingguan EKSPONEN YOGYAKARTA. Aduh senangnya bukan main. Rasanya
dunia ini jadi begitu indah. Saya lalu mengajak anak pak RW mengambil honor
tulisan itu di jalan KH Dahlan. Memang besarnya hanya 500 rupiah, dan honor itu
sendiri saya berikan ke anaknya pak RW. Maka sontak di desa itu nama saya jadi
buah bibir dan terkenal, mahasiswa UGM itu ternyata pintar juga menulis. Tetapi
yang lebih heboh lagi, dua minggu kemudian, koran Sinar Harapan Jakarta memuat
tulisan saya dengan honor 27.500 rupiah begitu juga dengan Surabaya Post dengan
honor 30.000 rupiah. Setelah itu tulisan saya sudah ada dimana-mana. Bayangkan
teman-teman saya umumnya hanya punya wessel antara 15-25 ribu perbulan
sementara saya sudah punya penghasilan dengan rata-rata 30 ribu perbulan.
Saya menikmati kehidupan masa muda saya di Gondolayu selama dua tahun. Pada
tahun ke tiga saya sudah bisa menyewa kamar di Jetis Harjo tepat di depan
Teknik Geologi UGM waktu itu. Sebagai mahasiswa penulis saya juga sudah punya
sepeda motor, dan bisa membayar berbagai kebutuhan saya sebagai mahasiswa
Yogya. Setelah saya memasuki kuliah di tahun
ketiga, maka dunia kepenulisan telah mulai memudar karena digantikan oleh dunia
survei dan pemetaan. Dari segi penghasilan, tantangan kerja di lapangan
ternyata dunia survei lebih menantang. Menulis bagi saya waktu itu hanyalah
jadi selingan, sementara kehidupan saya sudah sepenuhnya di topang oleh
pekerjaan survei dan pemetaan. Apalagi waktu itu saya juga diangkat sebagai
Chief Surveyor untuk lembaga penelitian kerja sama UGM dan KemenPU dalam hal
penelitian persawahan Pasang Surut. Kehidupan mahasiswa saya sangat
mennyenangkan. Mandiri, penuh dinamik dan antusiasme.
Prajurit Dengan Gaji
Terbatas
Setelah lulus
Geodesi UGM, mencari pekerjaan masih tergolong Mudah. Kalau di perusahaan cuku
Telpon Perusahaannya dan pekerjaan selalu Ada. Saya malkukannya dan sempat
beberapa bulan kerja di perusahaan Swasta. Begitu juga kalau mau jadi PNS masih
tergolong mudah. Hanya saja memang harus seperti “magang” dahulu.
Maksudnya Kementerian itu mau menerima,
tetapi waktunya kan pada bulan-bulan tertentu. Jadi sebelum bulan itu datang,
kita jadi “magang” dulu dengan mereka dengan upah sebesar 30% dari Gaji.
Sekedar untuk bisa ongkos ke Kantor. Kebetulan saya dipanggil untuk ikut Wajib
Militer. Maka jadilah saya prajurit TNI. Tetapi jadi prajurit gajinya juga
terbatas, artinya kalau mengandalkan Gaji saja tidak cukup.
Saya lalu ingat
besaran gaji saat memulai meniti karier di TNI dahulu. Ya di tahun-tahun
1980an. Sebagai seorang perwira pertama dengan pangkat Letnan Satu total
gajinya, sebesar Rp 90 ribu. Itu sudah termasuk ULP ( Uang Lauk Pauk). Artinya
itulah semua. Hal yang sama untuk personil Pollri dan PNS, kalaupun beda
besarnya kecil sekali. Tentu berbeda dengan karyawan swasta. Kalau perusahaanya
baik, ya gajinya besar tetapi kalau perusahaanya biasa saja, maka gajinya juga
menyesuaikan. Tetapi tetap penghasilannya masih lebih baik. Untuk menyicil
Rumah BTN atau katakanlah Sewa rumah, waktu itu, sebesar Rp60 ribuan/bulan.
Bisa dibayangkan bagaimana sisa uang Rp30 ribu itu bisa membiayai makan,
pakaian, sekolah anak-anak dan transportasi kekantor dll dalam sebulan. Dalam
kondisi keuangan seperti itu, kita juga harus menjaga “road Map” jenjang karier
kita. Bagaimana kau bisa tampil sehat, kerja bersemangat dan dapat penilaian
baik dari atasanmu? Terus terang tidak banyak yang bisa lolos dengan baik dalam
hal seperti ini. Intinya adalah kau harus bisa mencukupi keperluan harian
keluargamu terlebih dahulu dan kemudian baru bisa bertugas dengan baik di
tempatmu bekerja. Kau harus paham dengan Pareto 80/20. Tapi bagaimana kau melengkapi keperluan
keluargamu? Itulah tantangannya.
Pada masa itu
banyak sekali hal yang dilakukan oleh mereka-mereka yang mempunyai persoalan
seperti ini. Ada yang nyambi jadi sopir angkot setelah selesai jam kerja. Ada
yang buka warung di rumah kontrakannya. Ada juga yang membuka “lesehan” semacam
pecel lele dan mengajak teman patungan. Ada yang jadi guru les privat, ada yang
jadi petugas “ keamanan” di berbagai tempat usaha atau kegiatan malam. Biasanya
para anggota prajurit/Polri yang punya “pergaulan” bisa memanfaatkan jejaring
seperti ini. Bisa dibayangkan, bagaimana kinerja mereka ditempat kerjanya,
kalau semalaman tidak tidur. Ada juga yang jadi “pengamanan” truk. Jadi anggota
prajurit/polri itu sehabis kerja ikut duduk di kenderaan Truk. Dll ternyata
dinamika kehidupan itu sangat “responsip”, banyak sekali ragamnya, sulit untuk
mengatakannya satu persatu. Bahkan ada banyak yang juga bisa melihat peluang
ditengah-tengah kondisi ekonomi seperti itu.
Pada zaman itu,
setiap instansi yang memiliki peralatan yang banyak diminati oleh masarakat
atau pengusaha (alasan, untuk membantu biaya pemeliharaan) masih diperbolehkan untuk menyewakannya.
Misalnya jajaran Kementerian PU, mereka boleh menyewakan alat-alat eskapator,
stoom walls dsb. Begitu juga TNI., satuan yang mempunyai alat-alat berat
seperti itu atau alat-alat “pemetaan”
bisa menyewakannya. Peluang ini sesungguhnya sangat “baik” dan bisa
dimanfaatkan oleh anggota prajurit itu sendiri. Saya pernah melihat seorang
prajurit bisa “menyewakan” alat-alat pemetaan dari satuan TNI terdekat kepada
koleganya di seluruh Nusantara. Karena memang satuan itu ada di setiap Kodam,
boleh dikatakan ada di setiap provinsi. Memang “komisi”nya tidak besar, dalam
artian sang parjurit tersebut juga harus memikirkan nama baiknya dan nama
satuannya. Tetapi yang jelas, kalau bisa memanfaatkannya dengan baik maka ada
“pemasukan” yang bisa diperoleh dari kegiatan tersebut.
Hal lain juga
sangat khas, khususnya pada prajurit TNI/Polri dan PNS yang bisa berbahasa inggeris
atau bahasa lain seperti Jerman, Belanda Dll. Pada masa itu masih sangat banyak
kesempatan untuk bisa mengkuti “pendidikan” di luar negeri. Kelebihannya pendidikan
di luar negeri apa? Pertama sesuai dengan jenjang kariernya, karena secara
langsung bermanfaat untuk meningkatkan SDM di tempat dia bekerja. Penilaian
kantornya pasti bagus. Hal lain yang lebih menarik lagi adalah honor yang
diterima saat mengikuti pendidikan tersebut. Misalnya untuk prajurit TNI/Polri
(waktu itu masih bersatu) dalam satu hari pendidikan di luar negeri minimal
mereka memperoleh $10 dari TNI dan $14 dari Kementerian Pertahanan belum lagi
dari Negara yang menyelenggarakannya. Besarnya tidak mesti tetapi biasanya
sudah menyediakan semua fasilitas dan sarana selama pendidikan. Mulai dari
apartemen, makan minum, rekreasi dan uang saku. Artinya kalau prajurit tersebut
mau berhemat maka ia akan dengan mudah memperoleh $24-$35 perhari selama ia
mengikuti pendidikan. Umumnya mempunyai rentang waktu antara 3-6 bulan. Kalau
di hitung dengan kurs pada waktu itu, setara dengan Rp24-35 ribu perhari.
Bayangkan dengan gaji yang hanya Rp90 ribu per bulan. Peluang yang sungguh
tidak dinyana. Terus terang penulis juga ikut memanfaatkan kesempatan ini. Dari
beberapa Sekolah ke dinasan saya, hanya dua yang saya ambil dalam negeri
selebihnya saya ambil di luar. Mulai dari Amerika, Autralia, dan Inggeris. Berkat
dengan semangat itu. Saya bisa belajar di Mapping Charting And Geodesy Course
(DMA,USA,1984) ; Map Control Survey Course (Aust,1988); Mapping And Manegement
Border Area Course (Aust,1993); Rasvy Regimen tal Officer Course (Aust,1994)
dan MBA (Leicester Univ, 1998)
Hal lain yang
memungkinkan bisa dikerjakan oleh anggota prajurit/Polri atau PNS adalah
menulis. Ya menulis untuk mengejar Honor. Besaran honor menulis pada waktu itu
jauh labih besar daripada saat ini. Kenapa saya berani bilang begitu? Pada
masa-masa itu harga satu artikel untuk harian sekelas Kompas, Sinar Harapan dan
Surabaya Post bisa mencapai antara Rp27.500-35.000. Sementara Koran-koran Lokal
seperti Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Merdeka, Yudhagama Dll bervariasi
mulai dari Rp 1.500-3.500 per artikel. Jadi dengan bisa menulis 2 artikel dalam
sebulan di harian sekelas Sinar Harapan, atau Surabaya Post, atau Kompas
ditambah dengan 4 artikel di harian lokal maka anda bisa memperoleh Rp
50.000-65.000. lumayan kan? Bandingkan dengan gaji yang sebesar Rp 90.000
perbulan. Penulis sendiri, pada waktu itu juga memanfaatkan kemampuan menulis
untuk mencari penghasilan tambahan. Saya kebetulan di ajak teman untuk
bergabung dengan Majalah Elektronika di Bandung. Disamping menjadi anggota
redaksi tersebut, saya juga menjadi penulis buku. Saya punya kesepakatan dengan
Penerbit. Waktu itu, setiap naskah buku yang saya serahkan saya dibayar Rp
1.000.000 ( satu juta ). Dengan catatan, besarnya honor penulisan 12.5 % dari
harga buku. Jadi besaran satu juta itu adalah pembagian honor yang dibayarkan
di depan, yang nantinya akan diperhitungkan kemudian. Kesepakatannya biaya itu,
adalah biaya untuk membantu penulisan; seperti biaya untuk pembelian buku-buku
referensi dan kebutuhan lainnya.
No comments:
Post a Comment