June 25, 2021

Harmen Batubara Penulis Dari Daerah Perbatasan



Buku buku Tentang Perbatasan & Bisnis Online Yang Bisa dimanfaatkan Dari Perbatasan,Beli Dua"BEBAS ONGKIR"




Bagi  sahabat yang tertarik Masalah dan Dinamika Wilayah Perbatasan…bisa melihat Koleksi  Buku dan Literasi Kita terkait Perbatasan Di sini..Semoga bermanfaat…Dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi ancaman abadi bagi perdamaian serta keamanan internasional Tapi anehnya, tidak semua Negara dengan benar-benar membenahi perbatasannya. Bahkan banyak Negara yang menempatkan penegasan perbatasannya pada Lembaga/Kementerian yang justeru awam dengan masalah perbatasan itu sendiri. Indonesia bisa digolongkan pada Negara yang seperti itu. Padahal semua paham bahwa ketidakjelasan batas territorial; merupakan salah satu hal, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antarnegara. Hal seperti itu sudah bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini mempunyai permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya.



Bagi  sahabat yang tertarik Masalah dan Dinamika Wilayah Perbatasan…bisa melihat Koleksi  Buku dan Literasi Kita terkait Perbatasan Di sini..Semoga bermanfaat…Dalam hal hubungan Internasional, masalah teritorial merupakan salah satu penyebab klasik munculnya konflik antar negara dan menjadi ancaman abadi bagi perdamaian serta keamanan internasional Tapi anehnya, tidak semua Negara dengan benar-benar membenahi perbatasannya. Bahkan banyak Negara yang menempatkan penegasan perbatasannya pada Lembaga/Kementerian yang justeru awam dengan masalah perbatasan itu sendiri. Indonesia bisa digolongkan pada Negara yang seperti itu. Padahal semua paham bahwa ketidakjelasan batas territorial; merupakan salah satu hal, menjadi faktor laten penyebab munculnya sengketa perbatasan yang akan mengganggu stabilitas hubungan antarnegara. Hal seperti itu sudah bukan lagi rahasia umum, boleh dikatakan 85% Negara di Dunia ini mempunyai permasalahan perbatasan dengan Negara tetangganya. Apalagi kalau hal itu kita lihat dibelahan Asia, hampir semua Negara punya masalah perbatasan dengan Negara tetangganya. Sebut saja nama negarnya, misalnya China atu Tiongkok, Negara ini punya permasalahan batas dengan India, dengan Jepang, dengan Korea Selatan, dengan Malaysia, dengan Brunai, dengan Vietnam, dengan Filipina. Indonesia sendiri mempunyai masalah perbatasan dengan sepuluh (10) Negara tetangganya dan selalu bermasalah dengan kedaulatan perbatasannya.

 


Kalau ingat perbatasan, maka saya juga akan mengingat kehidupan masa kecil saya. Masa kecil yang menyenangkan. Menyenangkan dalam suasana kesederhanaan. Kesederhanaan Desa terpencil bagai di perbatasan. Sebagai penulis, saya tidak akan pernah lupa nasihat guru SR ( Sekolah Rakyat, kini SD), guru idola saya  lima puluhan tahun lalu. Ketika itu kita masih di kelas 3 SR. Setiap ada kesempatan beliau selalu memberi motivasi dan selalu menyemangati. Kalau kalian ingin jadi murid bapa dan berhasil, maka inilah tugas-tugas yang harus kalian lakukan dengan baik. Pertama, kalian harus bisa pelajaran tambah, kali dan bagi mulai dari satu sampai 10 di luar kepala. Kedua, kalian harus bisa menunaikan shalat, dan bisa jadi imam dalam melaksanakan shalat. Ketiga, kalian harus bisa “berpidato” di depan kelas. Keempat, kalian harus bisa menuliskan “ceritra” dengan baik dan enak dibaca dan bisa menceritrakannya dan enak didengar.

Bagi kalian yang ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, maka kalian harus bisa dan jadikan ini sebagai modalmu. Kamu akan bisa hidup senang di kampungmu ataupun kalau kamu merantau. Pertama, kamu harus bisa menanak nasi. Menanak nasi dengan benar, mulai dari persiapan kayu bakarnya (waktu itu belum ada kompor, yang ada baru kayu bakar) hingga menghidangkannya. Kedua,  bisa mencuci dan menyetrika pakaian kalian sendiri (sterika juga masih pakai arang kayu atau batok kelapa, belum ada listrik). Ketiga, bisa naik sepeda (kala itu belum ada sepeda motor,sepeda juga model sepeda ontel besar). Keempat, bisa menjadi penjual”Es lilin” jajanan yang berhasil (kala itu es lilin dalam termos, Es bisa dijajakan dan kalau laku kita dapat komisi). Kelima, kalian harus bisa jadi “penyadap karet” yang baik;  Sebetulnya yang paling menarik dari ceritra beliau itu adalah ilustrasi di setiap ketrampilan yang dijelaskannya.

Kalau semua ini kalian bisa lakukan dengan baik, maka percaya sama bapa kamu akan bisa sekolah ke mana saja, ke negeri mana saja dengan “kekuatan kamu” sendiri. Sejak itu apa yang disampaikan Guru saya itu…betul-betul menjadi azimat yang saya pelajari dan ikhtiarkan agar bisa saya wujutkan; bahasa masa kininya mewujudkannya secara professional, ahli dan jadi trampil dalam bidang yang ada di lingkungan kita berada. Logikanya. Kalau kita punya ketrampilan yang sesuai atau dibutuhkan oleh lingkungan kita sendiri, maka tidak terasa kita sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan, merasa dihargai dan diterima oleh lingkungan. Dalam kondisi seperti itu kita percaya dan yakin semua “jalan, semua ketrampilan adalah Emas”. Saya sangat ingin menyampaikan pesan-pesan beliau itu kembali dalam versi Catata Blog Seorang Prajurit Perbatasan dengan bahasa  apa adanya…

 

Harmen Batubara Penulis Dari Daerah Perbatasan

Melihat desa tertinggal di perbatasan tentu tidak semua orang dapat “melihatnya”, karena untuk bisa melihat ketertinggalan itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang tahu makna “tertinggal” itu sendiri. Desa tertinggal itu, ya jauh darimana-mana. Secara fisik desa itu baru dicapai setelah melakukan “perjalanan kaki”, selama satu atau dua hari, karena memang akses jalannya belum ada. Di sepanjang jalan kaki itu, sama sekali tidak ada “warung”. Karena memang semuanya masih berupa hutan dan hutan belukar. Kemudian sampailah anda ke perkampungan tertinggal itu. Ya benar-benar kampung apa adanya. Warung sudah ada, tetapi yang di jual hanya sebatas, beras, garam dan berbagai super mie serta jajanan anak-anak berupa permen dan sejenisnya. Rokok memang ada, tetapi lebih banyak jenis tembakau dan kertas linting. Pendek kata hanya sepertiga dari keperluan sehari-hari,mereka bisa beli juga karena masih bisa dengan cara barter. Jual kelapa, kemudian beli minyak tanah dst.dst.

Berikut Buku-Buku Yang Saya Tulis

Nama Buku

Nama Buku

BumDes & BumNas Sinergis Rakyat Sejahtera

Pengamanan Perbatasan

Seleksi Masuk SeskoaD

Kopi Mandheling Lungun NasoRaSasa

Membaca Strategi Perbatasan Jokowi

Membangun Pertahanan Negara Kepulauan

Formula Sukses Bisnis Affiliasi

Batas Laut Profil Perbatasan Indonesia

Membangun Halaman Depan Bangsa

Ketika Tugu Batas Digeser

Ketika Semua Jalan Tertutup

Rahasia Sukses Penulis Preneur

7Cara Menulis Artikel Yang Disukai Koran

Persiapan Tes Masuk Prajurit TNI

Penyelesaian Perselisihan Batas Daerah

Setiap Asa Bertabur Nikmat

 

Batas Negara Indonesia

Menangkan PilkadaMu

Pengelolaan Wilayah Pesisir

Mendirikan &Membangun BumDes

10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada

Perbatasan Tertinggal&Diterlantarkan

Formula GapTek 10 Jt Perbulan

Tapal Batas Profil Perbatasan Indonesia

Pertahanan Kedaulatan di Perbatasan

Cara Mudah Cari Uang di Clickbank

Cinta Ujung Negeri

Strategi SunTzu Memenangkan Pilkada

Papua Kemiskinan Pembiaran&Separatisme

Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan

Penetapan& Penegasan Batas Negara

Bila di diskripsikan dengan kata-kata masyarakat pedesaan perbatasan terpencil adalah masyarakat yang relatf tertutup, mempunyai ketergantungan kuat dengan alam. Melakukan kegiatan produksi yang bersifat subsistence atau peramu, sekedar mengambilnya dari alam dengan mata pencaharian serabutan. Tidak ada atau  memperoleh pelayanan sosial yang sangat minim, menyebabkan tumbuhnya tingkat kualitas SDM yang relatif sangat rendah. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat pedesaan terpencil, khususnya masyarakat adat, mampu menghasilkan produk budaya berkualitas tinggi seperti ukiran suku Asmat, tato suku Mentawai, pengelolaan hutan yang harmonis suku Baduy, dll.


Ketika Wisuda di UGM 

Saya masih ingat kehidupan dikampung saya di Aekgarugur, Tapanulis Selatan di tahun-tahun 60 an. Kampung yang menghubungkan jalan raya provinsi dengan Kampung Sipotang Niari (± 20 km) lewat tengah hutan dan persawahan. Jalan memang sudah ada, tetapi masih sebatas diperkeras, hanya bisa dilewati oleh Pedati, kuda beban dan sepeda ontel. Geliat ekonomi ada, dan warung-warung di sepanjang jalan itu sudah hidup terutama oleh pelaku usaha “transportasi”, di sana sudah kita temukan tempat-tempat warung untuk pangkalan Pedati, ada pula tempat persinggahan bagi para pemilik kuda beban dan juga bagi para pelaku transportasi sepeda ontel para pemikul barang. Mereka membawa hasil bumi (padi, kopi,karet dll) dari sawah, kebun ke perkampungan di sepanjang jalan tersebut, dan kemudian membawa keperluan primer sehari-hari dan sekunder lainnya dari Kampung Aekgarugur atau Sayurmatinggi ke kampung-kapung sepanjang jalan ke Sipotang Niari. Layanan dari pemerintah masih sangat terbatas, belum ada listrik, lokasi sekolahan 4km dari kampung, tidak ada puskesmas tapi untunglah terdapat satu Rumah Sakit di Sayurmatinggi. Jadi kalau ada yang sakit dari desa Sipotang Niari maka cara membawanya adalah dengan ditandu cara sederhana. Kain sarung diusung dengan tiang bambu sebagai tandu, sipesakitan di tidurkan untuk kemudian diusung oleh dua orang, biasanya ada dua pasang tenaga “ganti” yang secara terus menerus bergantian. Jalan 20 km dengan mengusung orang sakit secara bergantian dan marathon adalah sesuatu yang biasa kala itu dan hal itu membutuhkan waktu satu sampai dua harian penuh. Sementara Rumah Sakitnya juga kira-kira setara dengan Puskesmas sekarang ini.

Meski tinggal di kampung terpencil, tetapi ke sekolah terus saja berlanjut. Sejujurnya saya juga tidak mengerti mengapa saya masih terus saja sekolah, padahal jumlah anak SR di sekolahan saya itu hanya tinggal 9 anak lagi, itupun sudah dari berbagai kampung tetangga. Dari kampung saya sendiri hanya tinggal saya saja, yang masih sekolah. Tetapi hebatnya lagi, saya ikut dua sekolah. Pagi jadi murid di SR dan Sore hari ikut Sekolahan Agama. Praktis semua teman-teman di kampung sudah tidak ada lagi yang bersekolah, saya juga sebenarnya ingin juga seperti mereka. Tapi kedua orang tua tidak pernah meminta saya untuk berhenti, dan saya terus melakoninya begitu saja.


Saat Belajar di Fort Belvoir Virginia USA

Sehabis di SR saya harus ikut dengan keluarga ke Kotanopan untuk bersekolah di SMP Kotanopan. Padahal jarak dari Kampung ke Kotanopan itu sekitar 80 Km. Meski jaraknya 80 km, tetapi pada masa itu harus di tempuh selama satu hari perjalanan dengan mobil antar Kota. Namanya mobil Adianbania. Mobil itu memang setiap hari ada 5 trayek dari Kotanopan-Padangsidimpuan. Mereka dari Kotanopan pada pagi hari, mulai dari jam 05.00 pagi dan pulang lagi dari Padangsidimpuan kembali ke Kotanopan. Nah kalau saya naik dari Kampung saya misalnya jam 09.00, saya harus jalan kaki dahulu sejauh 2 km ke pinggir jalan, menunggu Adianbania dari Padangsidimpuan dan baru sampai di Kotanopan Jam 17.00. Tamat dari SMP Kotanopan, saya kemudian melanjutkan ke SMA Kotanopan. Tetapi sayangnya, saya harus dipindahkan ke SMA Padangsidimpuan, karena kebetulan dari anak-anak SMA klas satu naik ke kelas dua ada 4 orang anak yang masuk katagori jurusan Pas/Pal. Saya termasuk salah satunya. Untungnya semua keperluan perpindahannya diatur oleh sekolahan. Jadi saya resmi menjadi Anak kelas II Pas/Pal di SMA 2 Padangsidimpuan. Saya sangat menikmati suasana sekolah saya di Padangsidimpuan. Karena setiap sabtu sore saya bisa pulang ke Aekgarugur (± 30km) dan besok paginya saya bisa manderes karet. Jadi tiap minggu saya bisa dapat uang sendiri dari manderes karet uang setara RP75 -100 ribu. Dalam pergaulan saya, saya ikut Klub Boxing, dan pelari Marathon. Nah yang juga menarik adalah setamat SMA dan perubahan sikap mencari Pendidikan Berikutnya.

Terus terang, saya tadinya tidak punya niat untuk kuliah lagi. Hal itu disebabkan keuangan orang tua dan juga belum ada contohnya anak yang berhasil kuliahnya di Kampung saya. Malah sebaliknya mereka telah menghabiskan semua kebun dan sawah orang taunya, tetapi sekolah juga tidak selesai-selesai. Tetapi sekitar dua minggu sebelum pengumuman kelulusan SMA, saya main ke sekolahan saya. Saat itulah saya baru sadar bahwa sebagian besar teman-teman saya sudah pada punya rencana kuliah. Mereka umumnya ke Medan, Padang, Palembang da nada juga yang ke Jakarta, Bogor dan Yogyakarta. Pada saat itulah hati saya berguncang, dalam hati saya sangat yakin bahwa dengan ketrampilan hidup ( bisa menderes karet, bisa bersawah, bisa berkebun, bisa berjualan sayur mayur dengan sepeda, bisa berjualan minyak tanah dengan sepeda dll) yang sudah saya lakoni di Kampung saya, maka saya percaya saya akan mampu menghidupi diri saya sendiri dan bahkan yakin mampu mengkuliahkan diri sendiri, dimanapun kotanya. Pulang dari Sekolahan niat itu saya bicarakan dengan keluarga. Intinya adalah, keluarga mau mendukung Kuliah ke Yogya dengan Rp 15 ribu serta mampu membiayai sebesar Seribu rupiah perbulan. Waktu itu harga beras masih sekitar 30 rupiah/Kg. Jadi perhitungan saya dengan besar 10 kg atau Rp 300 dan dengan uang Rp 700 lainnya saya akan bisa hidup di Yogya dengan pola saya sendiri. Maka kesampaianlah cita-cita saya untuk meneruskan Kuliah ke Yogyakarta. Soal gimana nantinya? Yan anti sajalah dibicarakan. Toh kalau misalnya gagal juga, ya kembali ke Kampung. Begitu saja.

Pernah dengar dengan istilah tentang anak batak di perantauan kan? Batak tembak langsung. Tapi ini untuk setting ceritra tahun tahun 70an. Itu menurut saya adalah upaya untuk menggambarkan anak-anak batak yang di kampungnya sana, dia dengan segala keterbatasannya. Dia yang aslinya belum tahu apa-apa, dia yang tidak tahu apa itu universitas, apa itu aturan lalu lintas jalan; tidak tahu mana saatnya stop dan mana saat jalan ketika melihat lampu setopan “abang-ijo” di perempatan jalan. Tetapi semua itu tidak menyurutkan semangat mereka untuk melanjutkan kuliah ke Jawa. Banyak dari mereka yang kondisi orang tuanya, sungguh tidak memungkinkan untuk membiayai kuliahnya. Tapi anak-anak batak itu tetap nekat. Tidak berbeda dengan anakan penyu yang meluncur ke laut, dari ribuan yang berlari yang sampai hanya beberapa. Saya salah satu diantaranya. Saya waktu itu, hanya berbekal uang sebesar 15 ribu rupiah dengan kesanggupan orang tua biaya bulanan satu ribu perbulan, dengan tujuan  Yogyakarta. Ongkos kapal waktu itu sudah 6 ribu, uang daftar di UGM 3 ribu. Belum lagi ini itu, jelas membaginya tidak bisa atau sangat sulit sekali.


Ketika Mampir di Pos Pam Tas Indonesia-Timor Leste

Tapi itulah jalannya kehidupan, panggilan suratan tangan. Bagaimana anak kampung dengan semua ke idiotannya menapaki hidup di kota besar metropolitan. Banyak dari teman-teman meski tetap terbatas, tetapi umumnya punya uang bulanan bervariasi, antara 15-25 ribu perbulan. Tapi hal itu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berlebihan bagi perjalanan nasibku. Sangat bersyukur karena meski dengan berbagai keterbatasan itu, ternyata saya diterima kuliah di UGM. Saat itu sebuah pencapaian luar biasa. Apalagi bagi seorang siswa lulusan SMA pedalaman dari Sumatera. Tetapi dengan uang satu ribu rupiah perbulan jelas ini sebuah tantangan. Tantangannya nyata dan sungguh luar biasa.

Saya sendiri punya jurus kehidupan langka tapi, menurut saya pas. Misalnya dalam mencari tempat Kos, carilah di wilayah kota yang tidak ada listriknya. Maksudnya agar segalanya lebih terjangkau dan murah. Lokasi itu saya temukan, yakni di Gondolayu, pinggir kali Code. Memang kondisinya kumuh, dan tempat mandinya juga di sumur-sumur seadanya di pinggiran kali code kala itu. Tapi bagi anak kampung seperti saya jelas itu jauh lebih baik dari di Kampung. Waktu itu saya malah dapat tempat kost yang tidak perlu bayar apa-apa.

Persoalan berikutnya adalah bagaimana hidup dengan uang sebesar itu? Memang harga beras waktu itu per kilonya masih rp 30 rupiah. Jadi 10 kg harganya sebesar 300 rupiah. Tapi hidup dengan uang 700 rupiah perbulan, sudah termasuk semuanya secara logika itu tidak masuk akal. Teman saya yang waktu itu kost di asrama Realino, bayarannya sudah 15 ribu rupiah per bulan. Tapi saya sangat percaya jalan pasti ada. Saya  yakin sekali, jalan untuk itu pasti ada. Cuma sayangnya saya belum tahu. Dari berbagai analisa yang saya lakukan, maka jalan yang tersedia adalah jadi penulis di koran harian. Karena menulis tidak terikat waktu, tidak mengganggu waktu kuliah. Tapi menulis untuk bisa dimuat di koran tentunya, bukanlah tulisan yang dibuat oleh penulis seperti saya yang tidak tahu apa-apa tentang menulis. Tapi jalan itu jelas terbuka. Dan saya percaya jalan saya ada di sana. Cuma bagaimana memulainya.

Ketika Belajar di Australia

Saya beruntung dan tergolong anak anak yang mudah beradaptasi, dan dengan cepat saya mendapatkan tugas sebagai pembersih dan penunggu “kantor” RW. Sebagai petugas RW saya boleh memakai sarana itu kapan saja, tugas saya hanya merawat kantor, mengetikkan dan menyampaikan surat-surat dinas dan undangan. Entah bagaimana ceritanya, pak RW malah membolehkan saya tinggal di situ, lengkap dengan makan minum gratis di warung yang ada di dekat kantor itu. Coba bayangkan, alangkah murahnya hati pak RW itu. Tuhan menolongku lewat kebaikan hati pak RW. Sederhananya saya dapat pekerjaan jadi penjaga dan merawat kantor RW tanpa upah, tetapi sebaliknya saya bisa tinggal di kantor itu dan dapat makan. Sungguh pencapaian yang luar biasa dan, itu saya peroleh ketika saat mandi di pinggiran kali code.

Sungguh saya sangat bersyukur karena “tangan Tuhan” memberikan saya begitu mudahnya dan semuanya. Tempat tinggal dengan semua sarananya, malah ada listrik, air ledeng dan mesin tik kantor yang bisa saya pakai sampai pagi. Padahal umumnya warga di kampong itu ya hanya dengan lampu teplok dan air sumur. Waktu itu, sasaran dan tekad saya hanya satu jadi penulis. Menulis untuk mendapatkan honor bagi kelanjutan kuliah. Sebagai mahasiswa UGM akses ke perpustakaan terbuka lebar, bahan bacaan saya melimpah. Saya terus menulis, menulis, menulis dan menulis. Menulis dengan mesin tik sebelas jari setiap ada kesempatan.

Sampai suatu hari setelah enam bulan mengetik tulisan siang  dan malam. Salah satu tulisan saya dimuat di Koran dua mingguan EKSPONEN YOGYAKARTA. Aduh senangnya bukan main. Rasanya dunia ini jadi begitu indah. Saya lalu mengajak anak pak RW mengambil honor tulisan itu di jalan KH Dahlan. Memang besarnya hanya 500 rupiah, dan honor itu sendiri saya berikan ke anaknya pak RW. Maka sontak di desa itu nama saya jadi buah bibir dan terkenal, mahasiswa UGM itu ternyata pintar juga menulis. Tetapi yang lebih heboh lagi, dua minggu kemudian, koran Sinar Harapan Jakarta memuat tulisan saya dengan honor 27.500 rupiah begitu juga dengan Surabaya Post dengan honor 30.000 rupiah. Setelah itu tulisan saya sudah ada dimana-mana. Bayangkan teman-teman saya umumnya hanya punya wessel antara 15-25 ribu perbulan sementara saya sudah punya penghasilan dengan rata-rata 30 ribu perbulan.

Saya menikmati kehidupan masa muda saya di Gondolayu selama dua tahun. Pada tahun ke tiga saya sudah bisa menyewa kamar di Jetis Harjo tepat di depan Teknik Geologi UGM waktu itu. Sebagai mahasiswa penulis saya juga sudah punya sepeda motor, dan bisa membayar berbagai kebutuhan saya sebagai mahasiswa Yogya.  Setelah saya memasuki kuliah di tahun ketiga, maka dunia kepenulisan telah mulai memudar karena digantikan oleh dunia survei dan pemetaan. Dari segi penghasilan, tantangan kerja di lapangan ternyata dunia survei lebih menantang. Menulis bagi saya waktu itu hanyalah jadi selingan, sementara kehidupan saya sudah sepenuhnya di topang oleh pekerjaan survei dan pemetaan. Apalagi waktu itu saya juga diangkat sebagai Chief Surveyor untuk lembaga penelitian kerja sama UGM dan KemenPU dalam hal penelitian persawahan Pasang Surut. Kehidupan mahasiswa saya sangat mennyenangkan. Mandiri, penuh dinamik dan antusiasme.

Prajurit Dengan Gaji Terbatas

Setelah lulus Geodesi UGM, mencari pekerjaan masih tergolong Mudah. Kalau di perusahaan cuku Telpon Perusahaannya dan pekerjaan selalu Ada. Saya malkukannya dan sempat beberapa bulan kerja di perusahaan Swasta. Begitu juga kalau mau jadi PNS masih tergolong mudah. Hanya saja memang harus seperti “magang” dahulu. Maksudnya  Kementerian itu mau menerima, tetapi waktunya kan pada bulan-bulan tertentu. Jadi sebelum bulan itu datang, kita jadi “magang” dulu dengan mereka dengan upah sebesar 30% dari Gaji. Sekedar untuk bisa ongkos ke Kantor. Kebetulan saya dipanggil untuk ikut Wajib Militer. Maka jadilah saya prajurit TNI. Tetapi jadi prajurit gajinya juga terbatas, artinya kalau mengandalkan Gaji saja tidak cukup.


Bersama Keluarga

Saya lalu ingat besaran gaji saat memulai meniti karier di TNI dahulu. Ya di tahun-tahun 1980an. Sebagai seorang perwira pertama dengan pangkat Letnan Satu total gajinya, sebesar Rp 90 ribu. Itu sudah termasuk ULP ( Uang Lauk Pauk). Artinya itulah semua. Hal yang sama untuk personil Pollri dan PNS, kalaupun beda besarnya kecil sekali. Tentu berbeda dengan karyawan swasta. Kalau perusahaanya baik, ya gajinya besar tetapi kalau perusahaanya biasa saja, maka gajinya juga menyesuaikan. Tetapi tetap penghasilannya masih lebih baik. Untuk menyicil Rumah BTN atau katakanlah Sewa rumah, waktu itu, sebesar Rp60 ribuan/bulan. Bisa dibayangkan bagaimana sisa uang Rp30 ribu itu bisa membiayai makan, pakaian, sekolah anak-anak dan transportasi kekantor dll dalam sebulan. Dalam kondisi keuangan seperti itu, kita juga harus menjaga “road Map” jenjang karier kita. Bagaimana kau bisa tampil sehat, kerja bersemangat dan dapat penilaian baik dari atasanmu? Terus terang tidak banyak yang bisa lolos dengan baik dalam hal seperti ini. Intinya adalah kau harus bisa mencukupi keperluan harian keluargamu terlebih dahulu dan kemudian baru bisa bertugas dengan baik di tempatmu bekerja. Kau harus paham dengan Pareto 80/20.  Tapi bagaimana kau melengkapi keperluan keluargamu? Itulah tantangannya.

Pada masa itu banyak sekali hal yang dilakukan oleh mereka-mereka yang mempunyai persoalan seperti ini. Ada yang nyambi jadi sopir angkot setelah selesai jam kerja. Ada yang buka warung di rumah kontrakannya. Ada juga yang membuka “lesehan” semacam pecel lele dan mengajak teman patungan. Ada yang jadi guru les privat, ada yang jadi petugas “ keamanan” di berbagai tempat usaha atau kegiatan malam. Biasanya para anggota prajurit/Polri yang punya “pergaulan” bisa memanfaatkan jejaring seperti ini. Bisa dibayangkan, bagaimana kinerja mereka ditempat kerjanya, kalau semalaman tidak tidur. Ada juga yang jadi “pengamanan” truk. Jadi anggota prajurit/polri itu sehabis kerja ikut duduk di kenderaan Truk. Dll ternyata dinamika kehidupan itu sangat “responsip”, banyak sekali ragamnya, sulit untuk mengatakannya satu persatu. Bahkan ada banyak yang juga bisa melihat peluang ditengah-tengah kondisi ekonomi seperti itu.

Pada zaman itu, setiap instansi yang memiliki peralatan yang banyak diminati oleh masarakat atau pengusaha (alasan, untuk membantu biaya pemeliharaan)  masih diperbolehkan untuk menyewakannya. Misalnya jajaran Kementerian PU, mereka boleh menyewakan alat-alat eskapator, stoom walls dsb. Begitu juga TNI., satuan yang mempunyai alat-alat berat seperti itu atau alat-alat “pemetaan”  bisa menyewakannya. Peluang ini sesungguhnya sangat “baik” dan bisa dimanfaatkan oleh anggota prajurit itu sendiri. Saya pernah melihat seorang prajurit bisa “menyewakan” alat-alat pemetaan dari satuan TNI terdekat kepada koleganya di seluruh Nusantara. Karena memang satuan itu ada di setiap Kodam, boleh dikatakan ada di setiap provinsi. Memang “komisi”nya tidak besar, dalam artian sang parjurit tersebut juga harus memikirkan nama baiknya dan nama satuannya. Tetapi yang jelas, kalau bisa memanfaatkannya dengan baik maka ada “pemasukan” yang bisa diperoleh dari kegiatan tersebut.

Hal lain juga sangat khas, khususnya pada prajurit TNI/Polri dan PNS yang bisa berbahasa inggeris atau bahasa lain seperti Jerman, Belanda Dll. Pada masa itu masih sangat banyak kesempatan untuk bisa mengkuti “pendidikan” di luar negeri. Kelebihannya pendidikan di luar negeri apa? Pertama sesuai dengan jenjang kariernya, karena secara langsung bermanfaat untuk meningkatkan SDM di tempat dia bekerja. Penilaian kantornya pasti bagus. Hal lain yang lebih menarik lagi adalah honor yang diterima saat mengikuti pendidikan tersebut. Misalnya untuk prajurit TNI/Polri (waktu itu masih bersatu) dalam satu hari pendidikan di luar negeri minimal mereka memperoleh $10 dari TNI dan $14 dari Kementerian Pertahanan belum lagi dari Negara yang menyelenggarakannya. Besarnya tidak mesti tetapi biasanya sudah menyediakan semua fasilitas dan sarana selama pendidikan. Mulai dari apartemen, makan minum, rekreasi dan uang saku. Artinya kalau prajurit tersebut mau berhemat maka ia akan dengan mudah memperoleh $24-$35 perhari selama ia mengikuti pendidikan. Umumnya mempunyai rentang waktu antara 3-6 bulan. Kalau di hitung dengan kurs pada waktu itu, setara dengan Rp24-35 ribu perhari. Bayangkan dengan gaji yang hanya Rp90 ribu per bulan. Peluang yang sungguh tidak dinyana. Terus terang penulis juga ikut memanfaatkan kesempatan ini. Dari beberapa Sekolah ke dinasan saya, hanya dua yang saya ambil dalam negeri selebihnya saya ambil di luar. Mulai dari Amerika, Autralia, dan Inggeris. Berkat dengan semangat itu. Saya bisa belajar di  Mapping Charting And Geodesy Course (DMA,USA,1984) ; Map Control Survey Course (Aust,1988); Mapping And Manegement Border Area Course (Aust,1993); Rasvy Regimen tal Officer Course (Aust,1994) dan MBA (Leicester Univ, 1998)

 

Hari hari yang menyenangkan dengan keluarga

Hal lain yang memungkinkan bisa dikerjakan oleh anggota prajurit/Polri atau PNS adalah menulis. Ya menulis untuk mengejar Honor. Besaran honor menulis pada waktu itu jauh labih besar daripada saat ini. Kenapa saya berani bilang begitu? Pada masa-masa itu harga satu artikel untuk harian sekelas Kompas, Sinar Harapan dan Surabaya Post bisa mencapai antara Rp27.500-35.000. Sementara Koran-koran Lokal seperti Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Merdeka, Yudhagama Dll bervariasi mulai dari Rp 1.500-3.500 per artikel. Jadi dengan bisa menulis 2 artikel dalam sebulan di harian sekelas Sinar Harapan, atau Surabaya Post, atau Kompas ditambah dengan 4 artikel di harian lokal maka anda bisa memperoleh Rp 50.000-65.000. lumayan kan? Bandingkan dengan gaji yang sebesar Rp 90.000 perbulan. Penulis sendiri, pada waktu itu juga memanfaatkan kemampuan menulis untuk mencari penghasilan tambahan. Saya kebetulan di ajak teman untuk bergabung dengan Majalah Elektronika di Bandung. Disamping menjadi anggota redaksi tersebut, saya juga menjadi penulis buku. Saya punya kesepakatan dengan Penerbit. Waktu itu, setiap naskah buku yang saya serahkan saya dibayar Rp 1.000.000 ( satu juta ). Dengan catatan, besarnya honor penulisan 12.5 % dari harga buku. Jadi besaran satu juta itu adalah pembagian honor yang dibayarkan di depan, yang nantinya akan diperhitungkan kemudian. Kesepakatannya biaya itu, adalah biaya untuk membantu penulisan; seperti biaya untuk pembelian buku-buku referensi dan kebutuhan lainnya.

 

 

June 20, 2021

Buku Perbatasan : Mereka Yang Sulit Melihat Peluang





Kegagalan sering terjadi karena mereka tidak peka dengan PELUANG yang ada. Sesungguhnya, peluang itu sebenarnya selalu ada.  Hanya kitalah yang tidak persis mengenalnya atau kalaupun ia datang wujutnya tidak seperti yang kita persepsikan. Untuk selalu mampu mengambil peluang itu, dibutuhkan talenta dan kesediaan  untuk berubah. Hal seperti ini, sulit untuk bisa diterima oleh setiap orang. Orang umumnya tidak mau kalau suatu perubahan itu, berlangsung dengan ritme yang berbeda. Orang cenderung ingin sesuatu yang biasa atau yang lazim serta dapat diperediksi secara jelas. Sangat sulit dibayangkan seseorang yang telah belasan tahun menekuni usaha atau kariernya untuk kemudian merubah arah serta memulainya dari posisi lebih bawah lagi; padahal  secara sadar ia tahu persis  kesempatannya di tempat lama sudah dapat dikatakan pupus sama sekali.     

      

Lihat PeluangMu Nikmati PerjuanganMu.

Oleh : Harmen Batubara   

Lihat PeluangMu Nikmati PerjuanganMu. Menurut Gede Prama, setiap orang lahir bersama peluangnya. Namun sebenarnya, kalau kita  jeli belum tentu setiap orang peduli terhadap peluang. Banyak pula diantara kita yang tidak sempat berpikir tentang peluang itu sendiri. Umumnya kita menerima saja ritme kehidupan itu, terserah ia mau dibawa kemana. Tetapi sudah tepatkah sipat seperti itu ?  Kalau hidup sudah tidak lagi pernah dievaluasi, maka sebenarnya  ritme seperti itu tidak ada bedanya dengan ritme kehidupan hewani. Ya, hidup adalah hari ini, persoalan besok itu soal lain lagi. Atau kelewat  peduli seperti kata  WS Rendra, “ Kemarin- esok adalah hari ini “. Atau apakah anda tidak percaya bahwa segala sesuatunya itu telah sesuai dengan desain sang pencipta ?

Mereka yang mempunyai paham optimis,  meyakini bahwa peluang sebenarnya selalu ada dan akan ada. Masalahnya peluang itu  sering muncul tidak persis seperti yang kita asumsikan. Kalaupun ia datang, kondisinya tidak ideal sebagaimana yang diharapkan. Katakan anda dari Bandung, tepatnya dari Cimahi mau ke Jakarta dan inginnya lewat Puncak. Tetapi setiap Bis yang anda stop, selalu penuh dan mereka tak mau membawa anda. Sementara pada waktu yang bersamaan dan malah hampir setiap saat selalu ada Angkutan Kota dari Cimahi ke Cianjur, dan umumnya selalu saja tersedia tempat kosong. Kalau saja anda mau, anda bisa naik itu; dan dari Cianjur bisa diteruskan oleh Angkot  Cianjur- Bogor dan seterusnya Bisnonstop Bogor – Jakarta.

Sesungguhnya, peluang itu sebenarnya selalu ada; hanya kitalah yang tidak persis mengenalnya atau kalaupun ia datang wujutnya tidak seperti yang kita persepsikan. Untuk selalu mampu mengambil peluang itu, dibutuhkan talenta dan kesediaan  untuk berubah. Hal seperti ini, sulit untuk bisa diterima oleh setiap orang. Orang umumnya tidak mau kalau suatu perubahan itu, berlangsung dengan ritme yang berbeda. Orang cenderung ingin sesuatu yang biasa atau yang lazim serta dapat diperediksi secara jelas. Sangat sulit dibayangkan seseorang yang telah belasan tahun menekuni usaha atau kariernya untuk kemudian merubah arah serta memulainya dari posisi lebih bawah lagi; padahal  secara sadar ia tahu persis  kesempatannya di tempat lama sudah dapat dikatakan pupus sama sekali.           

Bagai Produk

Sebenarnya banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai suatu keinginan, menurut Tom Pieters penulis Buku “The Brand You”,  Kau adalah produkmu. Bagaimana kau bisa menjual  “dirimu”, dan kemana kau bisa menjualnya, sangat tergantung dengan image yang anda bangun itu sendiri. Ibarat suatu produk kata Tom, dapatkah anda membayangkan produk apakah sebenarnya anda itu. Karena andalah yang menjadi “desain” anda, maka

Baca   Juga   :   Buku Pilkada, 10 Langkah Efektif Memenangkan Pilkada

Seyogyanya anda sendirilah yang tahu persis produk seperti apakah yang anda persepsikan terhadap diri anda sendiri. Anda juga yang sudah mempersiapkan atau mencari segmen pasar yang memang tepat terhadap produk tersebut. Dalam pemahaman yang amat sederhana, semua orang sebenarnya sudah melakukannya ; hanya saja memang banyak yang melakukannya tanpa pola serta arah yang jelas dan tidak terukur. Misalnya, para orangtua yang menyekolahkan putranya, meskipun tidak ada target yang jelas, tetapi minimal agar si anak kelak lebih baik dari dirinya sendiri.

Bagi sebagian lainnya, memang telah mempersiapkan disain pendekatan. Mereka secara empiris sudah dapat melihat bakat putranya sedari dini. Karena itu mereka membuat suatu cetak biru pendekatan demikian pula tentang pendanaannya; mereka sediakan secara terencana, baik itu lewat asuransi atau bentuk-bentuk lain yang memungkinkan putra mereka kelak tetap terbantu pendanaan pendidikannya. Meskipun suatu hari kelak sang anak merasa tidak sepenuhnya setuju dengan rencana “ blue print “ orang tuanya; tokh membuat perubahan tidaklah susah-susah amat. Yang jelas sang anak sudah terencana secara benar tentang akan jadi apa dia kelak. Masalahnya adalah; tidak banyak orangtua yang mampu mempersiapkan  program yang jelas bagi anak-anak mereka. Contohnya ya barangkali diri kita sendiri. Yang tidak jelas produk macam apakah kita ini. Dan bisa di “jual” kemana dan dengan harga berapa.

Bagi mereka yang masih muda, tentu dengan mudah dapat kembali mengevaluasi “hidup” mereka. Artinya, mereka bisa memulainya dari awal kembali. Mereka tinggal mengintip pasar, sehingga tahu persis produk seperti apa sebenarnya yang bisa mereka jual ke pasar seperti itu. Kalau mereka menginginkan  jadi seorang CEO di perusahaan Multi National. Maka tentu yang dilihat pertama kali adalah persyaratan jadi CEO seperti itu. Misalnya pendidikannya apa saja; ketrampilan penunjang dan pengalaman-pengalaman yang diperlukan. Atau menjadi seorang Birokrat, apakah itu di Sipil atau Militer. Umumnya selalu ada kriteria yang menjadi dasar, seperti pendidikan, ketrampilan penunjang dan pengalaman dst.dst. Kemudian mereka tinggal membuat suatu perencanaan agar persyaratan tadi bisa terpenuhi. Secara teoritis hal seperti itu bisa dilakukan, meskipun nantinya akan selalu muncul dinamika; tetapi dinamika itu selalu bisa dievaluasi dan diubah suai atau disesuaikan kembali.

Perencanaan juga tidaklah suatu pendekatan yang mati; artinya berbagai kondisi bisa saja ikut mempengaruhi jalannya pencapaian.  Misalnya, untuk memperoleh pendidikan harus dilakukan sambil bekerja cari uang. Artinya, anda tidak punya sumber pendanaan yang spesifik bagi kuliah anda. Hal seperti itu tidak jadi soal; dalam suatu perencanaan selalu ada kondisi seperti itu. Ujungnya adalah, berapa penghasilan anda yang sebenarnya. Untuk merealisir cita-cita anda, tentu harus membutuhkan dana; seberapa besar dana yang diperlukan. Untuk mencari dana seperti itu, apakah anda bayar didepan atau di belakang. Kalau di depan itu artinya anda harus mencari penghasilan tambahan. Dari mana anda bisa mencari penghasilan tambahan ? Tentu banyak sekali pilihannya. Tergantung hal itu dilakukan dengan kerja tenaga atau pikiran. Kalau pembayarannya dibelakang, anda bisa mencari dana pinjaman; sumber-sumber dana pinjaman pada saat ini sangat banyak ragamnya. Terserah anda pilih yang mana. Pendek kata, selalu ada jalan keluar yang elegan.


Lakukan Sesuatu

Yang sering terjadi adalah ketemu jalan buntu,artinya anda tidak punya modal untukberbuat apa saja termasuk untuk sekedar mencari informasi. Kondisi seperti ini yang sering membuat seseorang kehilangan harkat diri; merasa dirinya tak lebih dari seekor hewan yang ditinggal oleh tuannya.Pegangannya adalah jangan berhenti dalam perasaan seperti itu.Tapi perlu keyakinan bahwa setiap jalan buntu, jangan teruskan ke ujungnya tapi kembalilah ke simpang terahir ; terserah anda mau ke kiri atau ke kanan atau malah balik lagi ke awal. Pastikan bahwa setiap gang pasti ada jalan utamanya; pastikan kalau jalan mendaki pasti ada turunannya dst.dst. Kalau anda lagi kepayahan dalam pendakian; kau tetap punya banyak pilihan. Kau bisa istirahat, lakukan evaluasi; apakah kau terus menuju puncak atau mencari jalan alternatif lain. Tapi yang perlu diyakini adalah diperlukan kesabaran, talenta, arah yang jelas dan keyakinan.

Seorang anak muda lulusan S1 informasi, sudah enam bulan mencari pekerjaan kesana, kemari. Menurut penuturannya hampir setiap kantor sudah dia datangi, tak peduli itu swasta maupun negeri tapi tak pernah ada yang menerimanya. Sinar matanya jadi kuyu, badannya sudah setengah layu sesuai dengan penampilannya yang sudah mencerminkan keputus asaan.Diujung semua keluhannya, penulis sengaja memberikan senyuman padanya, suatu tanda hal seperti itu adalah sesuatu yang biasa. Saya memberinya uang lima puluh ribu, temui saya besok waktu ashar di mesjid ini.Kami lalu berpisah.

Benar besoknya dia sudah ada, dan sedikit lebih ceria.Kau punya teman? Ya ada, kerja di angkot. Kau mau jadi kernetnya? Maksud bapak ? Kau cukup jawab ya atau tidak ? Ya. Kau percaya dia mau menerima anda? Pasti. Oke lakukan itu dengan sungguh-sungguh sekarang juga dan gunakan semua kemampuanmu untuk mendapatkan peluang yang kau mau. Temui aku seminggu lagi pada waktu yang sama. Lalu penulis memberinya uang seratus ribu rupiah. Lama ia menatap mata penulis, jangan salah sangka sahabat, lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Kami lalu berpisah.  Kenapa penulis melakukan itu ? Karena konsep itu tadi. Peluang sebenarnya selalu ada, hanya kita tidak bisa mengenalinya dan sangat percaya kalau seseorang berbuat sesuatu pasti ada jalan keluar untuk itu.

Baca Juga  :   LandingPress Buat Website Bisnis Lebih Menyenangkan

Seminggu kemudian ketika bertemu lagi semuanya sudah berubah. Pakaiannya sudah persis seorang kernet dengan sebungkus rokok di kantongnya. Apa yang telah kau dapatkan anakmuda? Bapak benar, tiga hari setelah jadi kernet peluang itu datang. Aku waktu itu mengantar seseorang  yang mau mencarter angkot untuk membawa barangnya dari Stasiun KA ke rumahnya di Gedebage. Diluar dugaan sama sekali. Bapak itu menanyakan kalau-kalau punya teman yang bisa jadi supir, dia perlu supir. Saya bilang saya bisa. Dia lalu bertanya apakah saya juga bisa Komputer ? Saya bilang saya bisa; saya S1 dari Jurusan Komputer. Dia lalu menerima saya; sejak kemarin saya sudah resmi jadi sopir dan asistennya, ternyata beliau adalah Kolonel Angkatan Darat yang bertugas sebagai Security Officer pada perusahaan Survei milik pemerintah Jepang. Pada hari itu dia pilih Angkot, hanya karena beliau pingin kembali merasakan naik angkot. Di rumahnya ternyata beliau mempunyai Sedan Camry 2.5 dan Honda CRV tahun 2020. Dia lalu mencium tangan penulis dan mengucapkan terima kasih; hemat saya sangat tulus sekali.

Hal yang perlu jadi pegangan adalah anda harus mempunyai ketrampilan, punya kualifikasi dan seterusnya. Artinya anda perlu mempunyai ketrampilan entah itu formal dengan ditandai oleh selembar izasah atau sertifikat. Kalau anda belum punya maka upaya pertama adalah untuk memilikinya. Bagaimana anda memperolehnya ? Juga banyak cara untuk itu. Artinya kalau anda punya niat, dan sungguh-sungguh jalan untuk itu pasti ada, yang penting lakukan sesuatu untuk mendapatkannya. Caranya banyak sekali, mulai dari cara-cara tradisional seperti dengan membayar uang kuliah atau uang kursus atau dengan cara bekerja sambil kuliah atau sambil kursus.



Sering terjadi adalah kalau kita tidak punya persepsi yang positif dengan hukum Tuhan atau hukum alam; artinya di dunia ini kita harus berpegang dengan aturan-aturan yang ada. Kita harus mau dan berkenan dengan aturan aturan itu. Yang kerap dilupakan orang adalah, mencari sesuatu dengan cara-cara yang sangat vulgar; sama seperti para peminta-minta, mereka “berdandan” dengan memelas dan mengulurkan tangan. Mencari kerja dengan melamar kesana kemari tanpa “ polesan” koneksi, tanpa networking samalah halnya dengan cara para peminta-minta di pinggir jalan. Bukan mereka tidak butuh anda, tapi ya karena tidak kenal saja. Kemudian jangan kaku, tapi justeru harus fleksibel dan kuasai atau kenali medan. Jadi sebenarnya  kalau zaman sekarang anda masih saja jadi seorang pengangguran maka itu ada yang salah di sana, yakni pada cara pandang anda. Dunia ini sangat sederhana, hukumnya juga sangat sederhana, kalau anda datang dengan cara sederhana dan bersahabat maka dunia ini ada dalam gemgaman anda.