October 12, 2020

Perbatasan : Pulau Sebatik Ikon Kota Perbatasan





 Pulau Sebatik Ikon Kota Perbatasan

Sebagai bagian dari provinsi Kalimantan Utara banyak orang menghayalkan bahwa suatu saat Sebatik akan jadi Singapura nya Kaltara. Bukan tidak ada alasan, pulau Sebatik berada di pertigaan wilayah Malaysia-Brunai dan Filipina. Tetapi apapun itu, sebatik sebenarnya adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang perlu mendapat perhatian. Dia tidak saja sebagai beranda depan Bangsa, tetapi ia layak dan perlu dijadikan “role model” bagi pengembangan pulau-pulau terluar. Dahulu Kemenhan dan Kementerian Kelautan dan Kemenhub mencoba untuk mengangkat  Pulau Nipah, Batam sebagai salah satu model bagi pengembangan pulau terluar dengan titik berat eknomi dan pertahanan. Pemerintah lewat KemenPU kemudian mereklamasi pulau Nipah dan jadilah ia seperti yang sekarang.Tapi sebenarnya belum bisa memberikan makna apa-apa, kecuali sedikit dari sisi pertahanan.


Jadikan Sebatik Ikon Kota Perbatasan

Kali ini saya menulis tentang pengembangan pulau Sebatik ke depan, dengan jalan melihat pulau itu sejak abat ke 16, bagaimana posisinya terhadap Tawau. Dengan mengetahui sedikit banyak tentang realitas tersebut maka para perencana nantinya akan bisa memberikan ciri khas yang sesuai bagi pengembangan pulau Sebatik jadi Kota Perbatasan. Dari sisi pertahanan Malaysia jelas sudah menjadikan Tawau sebagai Armatim atau Armada Timur (pangkalan utama Angkatan Laut nya), sementara Indonesia tidak punya ide terkait untuk itu, meski memang akan ada rencana pembangunan satu brigif di Nunukan. Tetapi masih jauh dari sepadan. Kalau Malaysia punya dua Lanud di Tawau dengan panjang runway 3000 meter, nampaknya Indonesia baru Punya Sepinggan. Sementara Tarakan, Nunukan, Malinau, Putu Sibau bandaranya baru kelas sedikit diatas “perintis”.

Belanda Juga Diusir Inggris Dari Tawau. Dalam catatan penulis, awal mula etnis pertama yang bermukim di Pulau Sebatik adalah etnis Tidung, Mereka bermukim di Pulau Sebatik bermula sekitar tahun 1912, saat mereka membuka desa Setabu atas perintah Sultan Tidung. Cerita itu sudah kita dengar dari mulut ke mulut. Termasuk dari Kepala desa Stabu sendiri (2011) saat penulis melakukan penelitian lewat Universitas Pertahanan di wilayah itu. Waktu itu, beliau menambahkan bahwa ia merupakan keturunan langsung dari orang pertama yang membuka daerah Pulau Sebatik untuk permukiman. Etnis yang menjadi mayoritas di Pulau Sebatik saat ini bukanlah etnis Tidung tetapi Bugis. Bugis menjadi etnis mayoritas dengan jumlah mencapai 70% dari keseluruhan populasi Pulau Sebatik. Etnis Jawa menjadi etnis kedua terbesar, disusul etnis Tidung, Dayak Agaba, Timor, dan Lombok. Kemudian saya juga mendapati bahwa  Ambo Mang bin Haji Midok diyakini sebagai orang pertama yang membawa keluarganya menetap di Sebatik pada 1940, tepatnya di daerah Liang Bunyu.
Tapi jauh sebelum itu pada  Abad ke 17, kongsi dagang Hindia Belanda VOC sudah mulai memperluas wilayah koloni mereka ke Borneo Timur atau Kalimantan Utara. Pada tahun 1635 Garit Thomasen Pool untuk pertama kalinya diutus Pemerintah Hindia Belanda berkunjung ke Kaltara untuk melakukan kontak dagang dengan Kerajaan Kutai Kartanegara, tetapi usaha ini tidak berhasil. Pada Tahun 1671 Belanda mengutus lagi Paoelos De Bock dengan kapal Chiolop de Noorman melakukan perluasan wilayah koloni ke Kalimantan Utara. Mereka melakukan kontak dagang dengan kerajaan Kutai Kartanegara di Tenggarong.

Pada tahun Tahun 1672 Frans Heys dengan tiga Kapal dagang berkunjung lagi ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk melakukan kontak dagang. Tetapi karena hasilnya kurang memuaskan maka mereka meneruskan perjalanan ke pesisir Timur pantai Kalimantan hingga Kalimantan Utara yang sekarang menjadi Negara bagian Sabah Malaysia Timur. Di suatu tempat kawasan pantai yang disebut Tanjung Tinagat (kini Tawau), Belanda membuka perkampungan baru. Disini mereka mendirikan perwakilan dagang sebagai bagian dari wilayah koloni mereka. Pada sebuah batu yang menjorok ke laut diukir lambang VOC yang secara jelas bisa dilihat dari laut sebagai bukti bahwa Tanjung Tinagat (Tawau) adalah wilayah koloni Hindia Belanda.
Strategisnya Tawau atau Malaysia, itu terlihat dari upaya Belanda dan Inggeris memperebutkan Tawau. Pada masa itu. Inggris yang telah menguasai India, Burma, semenanjung Malaya, dan Singapura, juga tengah memperluas wilayah koloninya ke Borneo Utara. Sarawak, Berunei dan Sabah berhasil mereka diduduki. Inggris berniat memperluas wilayah jajahanya hingga Tawau, tetapi tidak berhasil. Kota Tawau lebih dahulu dikuasai Belanda. Mereka terikat perjanjian bahwa sesama Bangsa Eropa tidak boleh saling berebut wilayah jajahan yang sudah dikuasai.
Akan tetapi keinginan Inggris tidak berhenti sampai disitu. Dengan sengaja Inggris membuat kekacauan di Tawau. Suku Heban dan suku suku lain diadu domba bahwa mengayau atau memenggal kepala Manusia diperbolehkan dengan alasan adat. Maka terjadilah perang antar suku di Kota Tawau. Di muara sungai Tawau dirintangi berbagai pohon yang sengaja ditumbangkan. Kapal-kapal dagang Belanda dan kapal dagang asing dirampok, awak kapalnya dibunuh. Kantor maskapai VOC Belanda diserang kemudian dibakar. Batu cadas yang bertuliskan lambang VOC diujung tanjung dihancurkan oleh agen Inggris untuk menghilangkan bukti tapal batas wilayah koloninya Belanda.
Meluasnya kekacauan di Tawau membuat Belanda merasa kewalahan. Akhirnya orang-orang Belanda menyingkir kesebuah desa yang disebut Kampung Pembeliangan. (kini berada di Kabupaten Nunukan). Disini Belanda berkirim surat Kepada Raja Bulungan Sultan Kaharuddin, untuk minta dijemput. Maka sultan mengirim beberapa perahu mengambil orang-orang Belanda untuk dibawa ke Tanjung Palas, ibukota kerajaan Bulungan. Sesampai di Tanjung Palas Sultan Kaharuddin mengajukan penawaran Kepada orang-orang Belanda apakah akan pulang kenegeri Belanda atau tetap ingin tinggal di Bulungan. Ternyata mereka memilih untuk tetap tinggal di Kerajaan Bulungan. Oleh Sultan kaharuddin Orang-orang Belanda ini diberi tempat tinggal berupa tanah seribu depa diseberang Sungai Kayan. Tempat orang-orang Belanda ini sekarang menjadi Kota Tanjung Selor, ibuKota Kabupaten Bulungan.
Kisah masa lalu setidaknya telah memberikan kita semacam referensi bagaimana perebutan wilayah ini dilakukan serta bagaimana Belanda mengincar posisi strategis wilayah Tawau dalam perdagangan. Dari sudut pandang ini, maka cara yang termudah untuk mengembangkan kawasan di segitiga Tawau, Malaysia-Brunai-Filipina adalah dengan jalan melakukan sinergi terhadap berbagai keunggulan yang sudah ada. Posisi Pulau Sebatik-Nunukan-Tarakan-Sangata-Balikpapan adalah partner yang sangat ideal bagi perkuatan kota Tawau sebagai pertigaan arus ekonomi yang mengkaitkan potensi Malaysia-Brunai-Indonesia dan Filipina. Bagaimana Kota perbatasan Pulau Sebatik mampu memanfaatkan potensi disekitarnya demi kemaslahatan bersama.

Masih ingat sejarahnya bagaimana Pulau Batam jadi Badan Otorita (sekarang Badan Penggusahaan,BP) pada tahun-tahun awal kelahirannya 1970an? Adanya semangat untuk menghadirkan Kota Industri yang bisa bekerja sama dengan negara tetangga, kota yang  tidak disibukkan oleh birokrasi pemerintahan, dan dikelola laiknya sebuah perusahaan. Sekarang ini Kota Batam[1] adalah kota terbesar di Kepulauan Riau dan merupakan kota dengan populasi terbesar ke tiga di wilayah Sumatra setelah Medan dan Palembang, Menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Batam Per April 2012 jumlah penduduk Batam mencapai 1.153.860 jiwa.
Metropolitan Batam terdiri dari tiga pulau, yaitu Batam, Rempang dan Galang yang dihubungkan oleh Jembatan Barelang. Batam merupakan sebuah kota dengan letak sangat strategis. Selain berada di jalur pelayaran internasional, kota ini memiliki jarak yang cukup dekat dengan Singapura dan Malaysia. Batam merupakan salah satu kota dengan pertumbuhan terpesat di Indonesia. Ketika dibangun pada tahun 1970-an awal kota ini hanya dihuni sekitar 6.000 penduduk dan dalam tempo 40 tahun penduduk Batam bertumbuh hingga 158 kali lipat. Dan jangan lupa Batam masih tergolong wilayah perbatasan, yang memang pantas untuk dijadikan halaman depan bangsa. Lalu bagaimana dengan Pulau Sebatik?

Ikon Kota Perbatasan

Pengembangan Kota Pulau Sebatik (selanjutnya disebut Kota Sebatik)  ke depan haruslah mengupayakan untuk mengoftimalkan pemanfaatan berbagai potensi sumber daya yang ada, baik dari sisi letak geografisnya sendiri maupun potensi sumber daya alam yang telah ada, mencakup pengembangan usaha perikanan tangkap, rumput laut, pengembangan usaha tani perkebunan dan tanaman pangan seperti kakao, kopi, kelapa sawit dan padi serta pengembangan usaha-usaha perdagangan dan jasa yang menjadikannya sebagai pintu masuk ke Indonesia khususnya wilayah KalimantanTimur dan Kalimantan Utara, khususnya kota-kota disepanjangn pantai timur Kalimantan mulai dari Balikpapan, Bontang,Tanjung Selor, Tarakan, Nunukan dan Sebatik; dan juga sepanjang jalan paralel perbatasan mulai dari Tanjung Datu-hingga ke Nunukan, termasuk di dalamnya adalah potensi pariwisata (Trade and Service).
Usaha dan upaya diatas dipandang penting dalam menggerakan perekonomian Pulau Sebatik. Kalau dilihat dari potensi wilayah-wilayah yang ada di belakang Sebatik, maka jelas daya tarik pengembangan ekonomi kawasan perbatasan di segi tiga Malaysia-Brunai-Filipina itu akan sangat terpesona oleh potensi yang dimiliki Sebatik dan jajarannya. Terlebih lagi kalau Sebatik-Tawau bisa di satukan lewat jalan khusus (dengan Kapal Ferry-Roro) atau Jembatan sekelas Barelang. Kalau di perhatikan secara alami saja perkembangan Pulau Sebatik selama ini telah jadi perhatian utama bagi kawasan disekitarnya- sehingga dapat menjadi perhatian positip dari kota tetangganya Tawau. Tawau secara pasti telah menjadikan Sebatik sebagai partner dagang yang baik dan memberikan semangat kerjasamanya. Kalau sebatik didandani dengan sarana dan prasarana yang tepat maka tidak mustahil Kota Sebatik akan sangat memukau.
Bisa kebayang nggak? Kalau misalnya suatu saat nanti dibentuk sebuah Badan Pengelola Kawasan Sebatik ( disingkat BPKS) yakni lembaga instansi pemerintah Pusat yang dibentuk oleh BNPP (Badan Nasional Pengelola Perbatasan) yang mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan dan pembangunan kawasan perbatasan sesuai dengan fungsi-fungsi kawasan?  Badan semacam ini sangat dibutuhkan dalam upaya membangun perbatasan jadi beranda depan kedaulatan bangsa. Seperti di Batam terdapat dua model pengelolaan dalam satu Pulau yakni satu Kota Batam dan satunya lagi BP Batam.
Badan Pengelola Kawasan Sebatik  ini nantinya akan menyiapkan  beberapa proyek unggulan untuk meningkatkan keunggulan dan kelebihan Pulau Sebatik dari kawasan sekitarnya. Langkah ini dimaksudkan untuk menjadikan Pulau Sebatik sebagai tempat investasi yang menarik bagi kalangan perdagangan dan pelabuhan  di kawasan segi tiga emas Malaysia-Brunai-Filipina  dan sekitarnya.
Proyek tersebut di antaranya seperti pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Sebatik- Nunukan dan pulau Kalimantan,bahkan termasuk dan sampai ke Tawaunya sendiri. Kemudian diikuti dengan pengembangan pasilitas PPLB Lamijung yang menjadi satu kesatuan dengan Border Trade Zone, jalan tol Sebatik –Nunukan dan pulau Kalimantan, Perluasan atau peningkatan kualitas Pelabuhan Nunukan- pembangunan SMK unggulan pertanian, perikanan Rumput Laut, Karet dan Kakao dan bahkan balai pelatihan untuk TKI.
Konsepsi pengembangan wilayah Kabupaten Nunukan secara umum dan pulau Sebatik khususnya di masa depan harus terintegrasi dan dikembangkan melalui strategi pengembangan wilayah yang spesifik sesuai dengan kondisi geografi wilayahnya, yang sinkron  dengan VISI INDONESIA 2025 DAN KONEKTIVITAS ASEAN serta Masyarakat Ekonomi Asean 2015  baik pada wilayah laut maupun daratnya. Hal ini dikarenakan pada wilayah ini disamping merupakan wilayah perbatasan juga sebagai simpul dalam system jaringan perdagangan antar Negara, yang bisa memanfaatkan potensi perekonomian kota-kota besar di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara khususnya Balik Papan, Samarinda, Bontang, Sangata, Tanjung Selor, Tarakan dan Nunukan dengan kota-kota di wilayah Sabah.

Perekonomian wilayah di pulau Sebatik sebenarnya telah jadi daya pikat tersendiri di daerah itu. Kalau saja Sebatik bisa dijadikan tumpuan sarana Transit (Ferry Roro-Kapal Laut Cepat dan Kapal Pesiar Sewaan), fasilitas pelabuhan, serta jaringan Hotel dan penginapan maka ia akan jadi tempat transit yang menyenangkan dan apalagi bisa lebih murah bagi kota-kota disekitarnya. Misalnya dengan Tarakan. Tarakan dapat dicapai dan dilayani oleh kapal Feri Tawindo MV dan Indomaya MV pulang pergi, setiap pagi jam 09.00 dari Pelabuhan Tengkayu, Tarakan dan jam 11.00. Harga tiket feri dari Tarakan adalah Rp 290.000 per orang(data tahun 2013) dan dari Tawau adalah 140 MYR (ringgit) per orang dan tidak tersedia tiket dengan kategori eksekutif ataupun ekonomi. Lama perjalanan adalah 4 sampai 5 jam tergantung cuaca laut.
Sebatik, Tarakan dan Tawau adalah surga petualangan laut, bila di Tarakan anda bisa melanjutkan jalan ke Pulau Derawan, maka dari Tawau anda dapat ke Pulau Sipadan dan Ligitan. Kalau Sebatik misalnya bisa membuat paket Tour dari Sebatik ke Pulau Derawan dan kota-kota disekitarnya termasuk paket penginapan, transport dan island shopping bahkan dengan atau tidak termasuk makan serta pengeluaran pribadi. Kemudian hal yang sama Tour ke Tawau- Semporna-Sipadan-Ligitan.berikut kota-kota di sekitar nya, maka ia akan jadi sesuatu yang menarik.


Sekarang sudah era globalisasi, termasuk didalamnya globalisasi ekonomi yang sedang dan masih terus akan berlangsung membawa dampak terhadap pergerakan orang, barang dan modal yang tidak lagi dapat dibatasi oleh dimensi waktu dan ruang. Menurut Dumairy[2] globalisasi dimaknai mendunianya kegiatan perekonomian, yang tidak lagi mengenal batas kenegaraan; globalisasi bukan hanya sekedar berada di tataran nasional, namun sudah menjadi transnasional kegiatan yang tidak hanya mencakup aspek perdagangan dan keuangan saja, tapi sudah memasuki ranah aspek produksi, pemasaran dan sumber daya manusia. Konsekuensinya, perekonomian antar Negara menjadi saling berkaitan, dimana peristiwa ekonomi suatu Negara dengan dan mudah berimbas ke Negara lainnya.
 Apakah Sebatik serta kawasan perbatasan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dapat memanfaatkan dampak positif arus globalisasi ekonomi, terutama peluang perdagangan bebas kawasan sekitarnya. Artinya, langkah awal pengembangan perdagangan seperti apa yang pas untuk Sebatik? Apakah perdagangan bebas perlu dikembangkan di kawasan Pulau Sebatik? Semua itu sangat tergantung pada kemampuan memanfaatkan potensi pasar Negara Bagian Sabah, Brunai dan Filipina dengan memanfaatkan peraturan yang ada yakni Border Trade Agreement (BTA) Tahun 1970 serta aturan yang ada pada BIMP-EAGA?
Untuk menjawab pertanyaan ini sebaiknya dalam jangka pendek perdagangan bebas lintas batas negara lewat lautlah kelihatannya yang “lebih mudah”; yakni melalui pembentukan Border Trade Zone (BTZ) – Pos Pengamanan Lintas Batas (PPLB), khususnya di kawasan perbatasan laut (pesisir), mencakup Nunukan dan sekitarnya. Dalam jangka panjang secara bertahap PKSN atau PPLB yang berada dikawasan perbatasan darat dikembangkan kegiatan perdagangan bebas lintas batas.
Kawasan perbatasan laut (pesisir) yang kita sebut di sini mencakup 5 Kecamatan di Pulau Sebatik, 2 Kecamatan di Pulau Nunukan (Nunukan, Nunukan Selatan) dan wilayah pesisir Kecamatan Sei Manggaris. Untungnya sejak awal telah dipersiapkan infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung pergerakan lalu lintas orang dan barang. Infrastruktur transportasi berupa bandar udara Nunukan dan pelabuhan laut Tunon Taka, untuk melayani kapal melakukan bongkar muat barang dalam jumlah besar sudah tersedia.
Demikian pula PPLB Lamijung akan segera difungsikan sebagai lalu lintas keluar - masuk orang dari Nunukan ke Tawao atau sebaliknya. Model pengembangan Kawasan Perbatasan Laut  yang merupakan pilihan tepat untuk mengembangkan Nunukan dan sekitarnya membutuhkan keberadaan Kawasan  Berikat  dan Kawasan  Pelabuhan  Bebas.  Dalam  hal yang sama, Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) telah mencanangkan Pulau Sebatik sebagai Kawasan Pengembangan Agroindustri dan Jasa Maritim, pada 28 Mei 2012 lalu. Sebagai kawasan pengembangan agroindustri lebih realistis untuk segera direalisasikan dalam jangka pendek, dibandingkan dengan pembentukan kawasan berikat. Karena kawasan berikat membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana yang lebih  kompleks.
Namun demikian, pilihan model pengembangan diatas sudah mengisyaratkan peluang untuk dilakukannya kegiatan perdagangan bebas dikawasan perbatasan, walaupun perdagangan bebas dimaksud tidak dalam skala besar pada tahap awalnya. Ketersediaan fasilitas kepelabuhan perlu disiapkan dan dikembangkan, seperti dermaga, terminal penumpang, lahan penumpukan barang (kontainer), gudang, perkantoran, fasilitas CIQ serta pengamanan harus sudah disiapkan. Kenyataannya seluruh fasilitas dimaksud sudah tersedia pada pelabuhan laut Tunon Taka; hanya saja setatus pelabuhan tersebut belum sebagai Pelabuhan ekspor – impor.
Rencananya Pemerintah daerah  akan segera memindahkan lalu lintas pergerakan orang dari Nunukan menuju Tawao atau sebaliknya, yang semula berada di Tunon Taka, dialihkan ke Lamijung yang nantinya akan menjadi PPLB Laut (dilengkapi CIQS) Keberadaan Tunon Taka dan Lamijung ini dalam jangka pendek sudah relevan untuk mendukung terwujudnya perdagangan bebas lintas batas, karena selama ini antara Nunukan dan Tawao sudah terjadi kegiatan ekspor - impor melalui mekanisme perdagangan lintas batas berdasarkan ketentuan BTA.
Apa yang terjadi saat ini memang seolah dan nyatanya menjadikan posisi Nunukan tidak mengun tungkan; karena hal yang tidak mungkin dipungkiri lagi adalah produk olahan dari Malaysia sudah membanjiri pasaran retail di Sebatik, Nunukan, bahkan sudah merambah Tarakan; padahal belum tentu produk produk tersebut sesuai dengan standar laik sehat yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia (SNI).

Hal seperti ini mestinya harus dapat dilihat sebagai bagian dari proses alami. Sebab sejak zaman kolonial dahulu, Tawau memang sudah lebih berkembang bila dibandingkan dengan Nunukan apalagi Sebatik.  Dihadapkan pada kondisi demikian, maka langkah yang bijak dan terbaik adalah memformalkan kegiatan perdagangan lintas batas ini, menjadi perdagangan bebas lintas batas.
Dengan demikian  Pemerintah agar mempertim bangkan  perubahan status Pelabuhan Tonan Taka menjadi pelabuhan ekspor - impor; atau pelabuhan lainnya di Pulau Sebatik dalam rangka menjadikan Sebatik sebagai kawasan perkotaan, dengan basis agroindustri dan jasa maritim. Keberadaan  pelabuhan ekspor - impor ini adalah sebagai pintu keluar - masuk tunggal kegiatan perdagangan bebas, tidak hanya untuk perdagangan bebas lintas batas, namun lebih luas dari itu, yaitu dipersiapkan untuk perdagangan luar negeri yang mencakup BIMP-EAGA-Asean-Brunai-Malaysia-Indonesia dan Filipina.
Langkah berikutnya,  secepatnya merealisasikan Lamijung sebagai PPLB (CIQS), untuk keperluan lalu lintas orang antar Negara. Pergerakan pelintas batas ini, baik menggunakan passport atau pass lintas batas tidak menutup kemungkinan akan membawa barang, baik untuk keperluan pribadi maupun dagang. Adanya PPLB ini maka kegiatan keluar masuknya orang/barang dapat lebih terpantau dengan baik. PPLB lainnya ditempatkan di Pulau Sebatik. Keberadaan kedua PPLB tersebut, apabila sudah berfungsi dengan baik, maka pelbagai pos lintas batas tradisional yang ada harus ditutup  secara  bertahap,  mengingat  selama  ini kegiatan perdagangan illegal banyak melalui pos tradisional dimaksud, yang sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Langkah berikutnya upaya memberi nilai tambah pada produk hasil bumi, hasil laut dengan jalan melakukan pengolahannya terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan adanya Border Trade Zone (BTZ) dalam kawasan PPLB. Konsepsi BTZ ini identik dengan upaya perluasan marketing. Dalam kawasan ini dipertemukan penjual - pembeli, dengan  memperdagangkan produk setegah jadi atau untuk sementara  produk ekstratif; BTZ ini perlu dilengkapi fasilitas gudang untuk transit (penyimpa nan sementara) produk yang diperdagangkan; didukung sistem pengelolaan profesional, transaksi perdagangan (ekspor), bongkar muat yang dapat diselesaikan cepat dan profesional, serta langsung dapat dikapalkan atau sementara menunggu proses administratifnya, produk tersebut dapat dititipkan di gudang transit) sebelum diekspedisikan menuju pelabuhan ekspor - impor (kapal).
Langkah berikutnya, memastikan produk yang diperdagangkan merupakan produk unggulan kawasan; unggul dari segi apa saja, mulai dari kualitas produk, harga jual yang kompetitip; tentu ini membutuhkan strategi dan taktis yang komprehensip  mulai dari upaya perbaikan pada faktor pembudidayaannya yang didukung faktor penanganan pasca produksi; sudah ada sentuhan teknologi (kompetitif dinamis). Produk unggulan sejatinya diproduksi dalam skala besar, sehingga ini hanya dimungkinkan oleh perusahaan yang memiliki modal besar dan lahan usaha yang luas dengan pola Inti-Plasma. Sementara produksi yang dilakukan secara individual terutama penduduk lokal, harus dihimpun terlebih dahulu dalam suatu lembaga usaha bersama semisal "koperasi". 


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Batam
[2] Drs. Dumairy, MA. 1997. Perekonomian Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta; Penerbit Erlangga. Hal 10.








1 comment: