Pengalaman
Jadi Penulis Harian Lepas Kejar Honor
Oleh
Harmen Batubara
Mengirimkan
artikel ke Koran atau umumnya kolom opini di media massa, mungkin menjadi
dambaan bagi para penulis. Entah menulis untuk
koran berskala nasional atau pun lokal, yang jelas ada prestise
tersendiri bagi penulisnya serta kepuasan berbagi perspektif pada masyarakat.
Saya sendiri punya pengalaman seperti itu, tetapi niatnya memang beda. Waktu
itu semangat saya untuk menulis hanya satu cari honornya. Di tahun 70an, kala
itu sebagai mahasiswa UGM saya tidak punya uang. Kesepakatan dengan ortu hanya
bisa menyediakan uang bulanan, sebesar Rp 1000 (seribu Rp) per bulan, harga
beras saat itu Rp30/Kg. Sementara jumlah kiriman atau wessel rata-rata
mahasiswa di Yogya antara 5, 10 hingga 25 per bulan. Hidup dengan pola santri yang
sudah saya persiapkan, uang seribu itu bisa menghidupi saya kala itu.
Sebagai
anak perantau, sebenarnya saya sudah membekali diri dengan berbagai ketrampilam
cari uang yang sudah saya persiapkan sejak SMP. Misalnya seperti kemampuan menderes
karet, kemampuan jual BBM, jual sayur mayur pakai sepeda, kemampuan jadi Tk Cat
Rumah; kemampuan jual nasi uduk, nasi kuning dan lain-lain. Sayangnya semua
ketrampilan itu sangat menguras waktu, dan tenaga. Jadi tidak cocok untuk
dilakukan disamping kuliah. Saat itulah ide untuk jadi penulis di Koran muncul.
Saya sendiri termasuk yang suka membaca, dan punya selera yang baik terkait membaca
tulisan. Saya dengan mudah bisa melihat berbagai “kelemahan” sebuah artikel,
hanya dengan pilihan kata-katanya saja.
Belajar Menulis Dengan Formula Sendiri
Tekad
untuk menulis langsung saya tanamkan dalam hati. Saya harus melakukan pelatihan
yang saya desain sendiri. Polanya juga sederhana, cari artikel yang membahas
masalah yang sama istilah sekarang sesuai segmen atau “niche” nya, baca
semuanya. Kemudian dari semua artikel itu cari intinya, cari kelemahan dan
kekuatannya. Kemudian tuliskan sebuah artikel yang lebih baik lebih lengkap dan
lebih menarik. Lebih lengkap dalam artian referensinya, data pendukungnya,
lengkap dengan gaya yang lebih luwes. Kala itu belum ada Om Google. Jadi semua
data harus dibaca dan ditulis ulang dengan tangan. Habis mesin tik juga belum
punya. Pada bulan pertama, pelatihan yang saya lakukan itu ternyata sangat
menyenangkan hati. Semua artikel itu saya kemas dalam bentuk Klipping. Klipping
tulis tangan. Minimal menurut saya waktu
itu, saya mulai tahu selera kepenulisan Media Nasional, dan Lokal. Pada bulan
kedua, saya dipercaya jadi Tukang Ketik di RW tempat saya tinggal. Itu artinya
sehabis jam kerja RW, mesin ketik bisa saya pakai. Yang penting semua
surat-surat ke RW an harus sudah kelar. Itulah tugas pokok saya di ke RW an.
Karena
kepelatihan ini, saya jadi pelanggan semua perpustakaan di Yogyakarta. Karena
setiap hari saya pasti datang sebab masing-masing perpustakaan tersebut punya
langganan Media yang berbeda. Polanya tetap sama, baca dan uraikan masalah apa
yang dituliskan oleh media nasional atau lokal hari itu terkait satu “niche”
atau topik tertentu. Kemudian cari kekurangannya, dan temukan kekurangan
tersebut lewat buku-buku atau majalah atau eksilopedia dst.dst. Secara tidak
langsung, saya juga sudah mempunyai sahabat-sahabat di perpustakaan. Mereka
inilah yang sering saya ajak diskusi terkait terkait topik-topik tertentu.
Pelatihan ini secara tidak langsung, telah membawa saya kepada pemikiran bahwa
saya sudah berada sama-sama di garis depan para penulis artikel tersebut. Apa
yang mereka tuliskan bisa saya lihat mulai dari kekuatan dan kelemahannya dan
bahkan enak tidaknya untuk dibaca.
Hasilnya
setelah enam bulan latihan dan berjuang barulah satu tulisan saya dimuat di
Koran Dua Mingguan Eksponen di jalan KH
Dahlan-Yogyakarta. Senangnya bukan main. Honornya sebesar Rp 500 saya berikan pada akan pa RW. Sejak saat itu
saya sudah dikenal sebagai penulis di Koran. Dua bulan berikutnya, hampir semua
Koran nasional sudah menerbitkan artikel-artikel saya. Yang Paling melegakan,
saya dapat mempertahankan penghasilan honor dari tulisan saya tiap bulannya
antara 17-35 ribu rupiah. Sutau capaian yang tidak sederhana. Saya masih ingat
anak bupati yang kostnya di Realino waktu itu wesselnya baru sebesar Dua puluh
lima ribu rupiah.
Besarnya
honor menulis di Koran ini sungguh jauh berbeda dengan saat sekarang. Harga
beras per Kg waktu itu baru tiga puluh rupiah. Jadi harga satu artikel di
harian Nasional seperti Kompas-Sinar Harapan dan Surabaya Post waktu itu
bervariasi antara 17,500 sampai 30,000 rupiah atau setara dengan 580 kg -1000
kg beras ukuran sedang. Sementara Koran Lokal seperti Kedaulatan Rakyat,
Pikiran Rakyat dan Suara Merdeka bervariasi antara 1500-2500 rupiah. Berkaca
dengan pengalaman ini maka berusaha menjadi seorang penulis adalah soal kemauan, soal cara dan ketekunan.
Coba Pakai Tip Menulis Ini
Kalau
mau jadi penulis ada baiknya pakailah Tip Sederhana Ini Inilah beberapa tips
atau kiat yang umumnya dilakukan para penulis pemula, sehingga tulisannya
berhasil menembus media. Di antaranya;
Perhatikan
gaya penulisan media tersebut. Demikian juga dengan gaya penulisan opininya di
koran tersebut, sebab masing-masing media mempunyai standar dan selera
penulisan yang berbeda.
Topik
Aktual. Koran terbit setiap hari, isu berubah setiap saat. Untuk menulis topik
aktual, tantangannya adalah untuk tidak
hanya mengerti isu-isu terdahulu tapi juga memprediksi isu yang akan datang.
Karena itu mengikuti isu yang tengah berkembang di media tersebut, namun bukan
semacam berita melainkan opini dengan berbagai perspektif. Sebagai penulis
opini, kita dituntut cermat menghadirkan perspektif baru untuk mengurai
persolan yang tengah terjadi melalui berbagai
informasi yang ada. Pastikan anda mengikuti Koran atau Harian yang mampu
merekam berbagai opini sesuai Segmen yang ada kembangkan.
Ide
Orisinal, Bukan Plagiat atapun Kompilasi. Terkadang data didapat dari tulisan
lain. Tapi yang perlu diperhatikan, jangan sampai data itu justru menjadi yang
utama dalam tulisan. Kembangkan ide terlebih dahulu baru kemudian data
mengikuti.
Argumentasi
Logis.Logisme adalah syarat mutlak supaya ide dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat. Karena, tujuan menulis sejatinya adalah untuk menyumbangkan solusi
dan tidak bertele-tele. Kurangi kata ‘kita’. Karena kata ‘kita’ mengesankan
tulisan tersebut adalah tajuk rencana atau tulisan untuk meyapa redaksi. Sebut
saja saya atau penulis kecuali kalau sifatnya memang sudah common sense.
Mengikuti
Aturan. Perhatikan betul ejaan yang digunakan. Perhatikan pula aturan yang
ditentukan oleh redaksi, misalnya: jenis tulisan, jumlah karakter, margin,
spasi, dan seterusnya. Sebaik-baiknya tulisan tapi jika tidak mengikuti aturan
tetap akan ditolak oleh redaksi. Kemudian menggunakan Bahasa yang Sopan. Keba
nyakan media kini menerima tulisan melalui e-mail. Karena kemudahan ini,
terkadang kaidah dan etika menulis surat terabaikan. Tulislah isi e-mail dengan
sapaan kepada redaksi dan berisi maksud e-mail tersebut dengan bahasa yang
sopan. Dengan begitu, redaksi jadi lebih merasa dihormati.
Perbanyak
referensi. Sebuah tulisan akan sulit meyakinkan redaksi kolom opini jika
referensinya kurang meyakinkan, entah itu sebagai data penguat, atau teori yang
digunakan dalam menopang perspektif tulisannya. Meski referensi yang berlebihan
juga pasti akan menyebalkan, dan itu tentu tidak disukai.
Afiliasi
dalam sebuah lembaga atau organisasi. Biasanya, background seorang penulis
opini juga dipertimbangkan. Hal ini bisa dimaklumi, misalkan anda seorang
peneliti dari lingkungan Kementerian Pertahanan. Meskipun apa yang anda
tuliskan sebenarnya tidak jauh beda dari penulis lainnya, tetapi latar belakang
anda dari Kementerian terkait telah mempunyai nilai tersendiri bagi mereka.
Lagi pula Harian tersebut ada juga keinginan untuk melahirkan penulis dari
lingkungan Kementerian Pertahanan.
Dari
pengalaman penulis sendiri, sering terasa ada perhatian dari Redaksi terkait
dimana posisi penulisnya. Saya masih ingat takkala penulis melakukan penegasan
batas antara Indonesia dan Papua New Guinea, semua tulisan yang saya kirimkan
dari lokasi tersebut dimuat oleh media yang saya kirimi. Begitu juga pada saat
saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata, semua tulisan-tulisan dari lapangan
tersebut dimuat oleh media yang saya kirimi. Kesan saya waktu itu, redaksinya
seperti ingin membantu penulisnya. Dengan kata lain latarbelakang si penulis
termasuk sesuatu yang jadi pertimbangan redaksi.
Juga
jangan lupa untuk melampirkan data diri penulis. Syarat yang satu ini juga
penting. Jangan lupa cantumkan scan KTP atau tanda diri lainnya seperti nomor
NPWP, nomor rekening (biasanya ada honor untuk penulis), dan foto diri . Untuk
syarat seperti ini, biasanya agak berbeda antara Koran yang satu dan lainnya,
karena itu perlu disesuaikan dengan permintaan media bersangkutan.
No comments:
Post a Comment